Anthology Posts

Anthology ini adalah kumpulan tulisan perjalanan dari para pembaca buku dan blog “The Naked Traveler” sejak 2009. Sebagian dari tulisan di sini sudah diterbitkan menjadi buku “The Naked Traveler Anthology” pada Agustrus 2014 oleh Bentang Pustaka.

Anthology Posts

Belajar Bahasa Gara-Gara Anna

Anna
Anna

by Oktarina Prasetyowati (Okke)

Saya sempat tinggal selama setahun lebih di Timor Leste karena urusan pekerjaan. Mau tidak mau saya harus bisa berbahasa lokal, yakni bahasa Tetun. Sebenarnya saya sudah disuruh-suruh untuk belajar sejak pertama kali menjejakkan kaki di sana, tapi ternyata orang-orang di Dili, baik yang muda maupun yang tua masih bisa berbahasa Indonesia. Murid-murid saya pun kebanyakan anak SMU dan mahasiswa. Mereka mengerti banget setiap perkataan saya dalam bahasa Indonesia. Jadi ya sudah, saya tidak merasa perlu untuk serius mempelajari bahasa ini. Jadi tiga bulan pertama, kemampuan bahasa saya turis banget. Palingan standar penguasaan kata-kata dasar pada kursus bahasa: Bon dia (Selamat pagi), Botarde (Selamat siang/sore), Bon noite (selamat malam), Obrigado (Terima kasih), Desculpa (Maaf), Lisensa(Permisi). Hau nia naran Okke (Nama saya Okke), Hau husi Indonesia (saya dari Indonesia), hau hela iha becusse centro (saya tinggal di Becusse Centro).

continue reading

Anthology Posts

Tipu-Tipu Ala India

by Mayawati Nurhalim*

Becak di Varanasi
Becak di Varanasi

Siapa pun yang berniat jalan-jalan ke India, bersiaplah mengalami serangkaian peristiwa mengejutkan. Apalagi kalau kita mengunjungi kota-kota kecilnya yang miskin. Bukan cuma soal jorok dan kumuh, melainkan juga soal banyaknya pengemis agresif dan para penipu berkedok macam-macam.

Lagi enak-enak tidur di kamar hotel, bisa-bisanya pintu diketuk 4 orang cleaning service berbadan tegap berkulit gelap laksana bodyguard demi dapat tip. Gara-garanya saya pernah kasih tip kepada salah seorang room boy. Rupanya air susu dibalas air tuba. Room boy lainnya jadi hobi mengetuk kamar, mengantarkan apa saja yang tidak kita minta. Begitu pula dengan para pengemis yang ternyata sangat ‘setia kawan’. Saya pikir aman memberikan uang pada pengemis cilik yang berdiri sendirian di gerbang hotel. Eh ternyata si pengemis ini solider kepada teman-teman seperngemisannya. Dia kasih tahulah kalau rombongan kami murah hati, dan wusshh… tiba-tiba banyak pengemis lain membuntuti kami. Pake acara nyolek-nyolek lengan kita segala. Yang mengejutkan, setelah kakak saya bilang “Sorry” dan tak memberi uang, kakak saya dibentak oleh seorang pengemis cilik perempuan, “No sorry!”. Buset.

continue reading

Anthology Posts

Desperately seeking Tiger Show

Wajah mesum di depan bar mesum, Patong, Phuket
Wajah mesum di depan bar mesum, Patong, Phuket

by TJ*

Beberapa tahun lalu seorang sobat mengunjungi Thailand untuk pertama kalinya. Ceritanya heboh banget. Yang pertama tentang produk made in Thailand yang bermutu bagus tapi murah. Kedua adalah tentang show yang disebut “Tiger Show”.  Apa hubungannya dengan macan? Bukan, Tiger adalah plesetan dari Thai Girl. Sobat saya bercerita dengan sangat mendetail adegan-adegan dalam show itu. Bukan sekedar striptease atau cowok-cewek main kuda-kudaan di atas panggung, tapi pertunjukan vulgar keahlian cewek Thai dalam melatih otot-otot kelaminnya untuk melakukan hal-hal yang tidak terbayangkan (kalau diterangkan secara detail takut bernasib seperti buku The Naked Traveler yang dibredel gara-gara cerita tentang ini). Sebagai pria dengan level ‘omes’ (otak mesum) cukup tinggi, saya jadi tergiur ingin ke Thailand. Tak disangka tahun lalu saya dapat undangan dari kantor untuk mengikuti seminar di Thailand. Horee! Maka sebelum pergi, saya kontak lagi sobat saya tukang kompor Tiger Show itu, dimana persisnya, berapa harganya dll. Katanya cuma bayar THB100 untuk cover charge dan THB100 lagi untuk tips performer-nya. Ekuivalen rupiah tidak sampai 100ribu. Edan tenan murahnya!

continue reading

Anthology Posts

Ditipu atau pikun?

by Vinda L.S.*

Ada-ada saja cara orang nipu. Waktu saya ke Bangkok, saya sudah diwanti-wanti tentang penipuan yang beroperasi di sekitar Grand Palace. Mereka akan pura-pura ramah dan bertanya tujuan kita. Bila dijawab Grand Palace, mereka akan bilang tempat itu tutup, sore baru buka. Lalu mereka akan menawarkan untuk mengantar ke kuil lain yang sama bagus dengan tarif tuktuk yang murah. Tapi kenyataannya, Grand Palace tidak tutup dan mereka akan membawa kita ke toko kain atau perhiasan yang harganya mahal, baru kemudian mengantar ke kuil yang disebutnya. Benar saja, setiba di Grand Palace ada yang mendekati saya dengan pertanyaan yang sama. Saya jawab dengan gelengan kepala lalu kabur. Kok mereka nggak kapok-kapok menipu ya?

continue reading

Anthology Posts

Jarak selemparan batu?

by Maria Wardhani*

Baru-baru ini, tanpa direncanakan, aku dan Ney berniat sedikit ber-adventure. Pinginnya cari pantai yang pasirnya putih, tidak begitu banyak pengunjung, dengan jarak tempuh bolak-balik satu hari dari Surabaya. Berbekal tanya kanan kiri, dapat satu rekomendasi pantai Sipelot yang katanya asyik buat berenang dan sepi. “Masuknya dari jalan besar juga nggak jauh-jauh amat,” begitu promosi temannya Ney. Dari kota Malang, katanya hanya berjarak tempuh satu jam. Satu jam berlalu, mulailah kami menyusuri jalan yang hanya cukup untuk satu mobil pas. Pemandangannya lumayan keren, banyak pohon berbukit-bukit dan kabut sudah mulai turun sehingga berkesan romantis. Terbuai pemandangan itu, kami baru menyadari bahwa sudah sekitar satu jam kami jalan dari jalan besar tadi, tapi bukit-bukit di depan kami masih tidak terhitung banyaknya. Jangankan deburan ombak, pohon-pohon besar dan tonjolan bukit masih terlihat. Tidak terhitung berapa kali kami naik turun bukit. Setelah merasa kelamaan di jalan, aku mencoba memastikan bahwa kami tidak salah jalan. Si mas supir membenarkan bahwa kami tidak salah jalan. “Masih lumayan, tapi tinggal lurus saja ikuti jalan ini nanti sampai ke pantai,” katanya.

continue reading