Are you in Bali? No, I am in Balige!

Are you in Bali? No, I am in Balige!

Begitulah kalimat yang terpampang pada plang swafoto di sebuah restoran di Kota Balige yang membuat saya tertawa sekaligus miris. Balige adalah ibu kota Kabupaten Toba di provinsi Sumatra Utara yang terletak persis di tepi Danau Toba, danau terbesar di Indonesia dan danau vulkanik terbesar di dunia. Kok bisa bikin plang dengan nada nggak pede gitu, sih?

Saya memang bias, apalagi Balige merupakan kampung marga mendiang bapak saya yang sudah lumayan sering saya kunjungi sejak kecil. Balige tidak bisa dibandingkan dengan Bali karena merupakan dua “spesies” yang berbeda. Makanya kunjungan saya ke Balige lagi pada pertengahan Desember 2023 membuat saya bersemangat melihat perkembangannya.

Sejak pemerintah Indonesia menetapkan Danau Toba menjadi salah satu 10 Destinasi Prioritas, dampaknya sangat terasa. Bandara Silangit (DTB) yang hanya berjarak setengah jam berkendara sungguh memudahkan turis maupun warlok (warga lokal) karena tidak usah lagi berkendara dari Medan selama 6 jam. Begitu mendarat di Silangit, saya sampai terharu! Bandara yang sekarang dilayani oleh empat maskapai penerbangan ini lumayan bagus lho!

Kota Balige sendiri tidak banyak berubah, hanya lebih ramai aja. Pasar Balige tetap ikonik dengan rumah tradisional Batak yang berjejer. Mi Gomak dan Susu Horbo (susu kerbau) masih dijual di kedai yang sama dan masih nikmat rasanya. Kedai Kopi Partungkoan di seberangnya semakin ramai sejak Pak Jokowi ngopi di sana—fotonya tentu dipajang! Setiap malam, sepanjang jalan utama dibuka tenda dan gerobak makanan. Untunglah saya datang saat musim durian, harganya mulai dari Rp 10 ribu aja!

Mi Gomak di Pasar Balige

Yang bikin saya surprise adalah banyaknya kafe dan restoran baru, bahkan sudah ada KFC! Restorannya pun kekinian dengan eksterior dan interior menarik, serta menyediakan makanan halal. Sebagian di antaranya terletak persis di tepi Danau Toba dengan pemandangan danau yang indah—salah satunya yang bikin plang miris itu. Hebatnya, ada restoran fusion yang menggabungkan Andaliman (rempah yang hanya ada di masakan Batak) dengan pizza dan kopi.

Saat ini hotel di Balige pun banyak pilihannya. Bahkan ada hotel berbintang empat bernama Labersa (singkatan dari “Lapan Bersaudara”, baca dengan logat Batak) yang gedungnya tertinggi se-Balige! Mungkin karena hotel baru, banyak banget peraturan hotel yang ditempel di dinding, mulai dari cara menggunakan kartu kunci untuk naik lift, larangan memasak di kamar, sampai larangan melintas ke kamar sebelah melalui balkon! Hehe! Fasilitas hotel termasuk Water Park keren dengan aneka perosotan. Harga tiket untuk umum Rp 60 ribu, tapi pengunjungnya berenang pakai kaos dan celana training! Hehehe!

Sejak jadi Destinasi Prioritas, tempat wisata Balige tentu bertambah. Yang paling gokil sih tempat memandang (viewpoints) Danau Toba dari atas, seperti Huta Ginjang, Sipinsur, dan Bukit Tarabunga. Pemandangannya luar biasa spektakuler! Keponakan aja sampai berkomentar, “Wow! Kayak di Swiss!”

Saya sempat naik kapal dari Balige ke Onan Runggu di Pulau Samosir. Astaga, pemandangannya benar-benar spektakuler! Danau luas berair biru tenang dikelilingi perbukitan hijau dan ada air terjun memang kayak di Swiss! Danau Toba dari sisi Balige masih seindah dan seasri dulu seperti yang saya lihat saat saya kecil, bahkan bersih tanpa sampah! Konon karena tanah adat masih dijaga sehingga tidak ada pembangunan gila-gilaan. Berbeda dengan Danau Toba dari sisi Parapat yang memang dikhususkan sebagai pusat pariwisata.

Kota Balige di tepi Danau Toba

Sayangnya Museum Batak di TB Silalahi Center yang saya banggakan itu sekarang kurang terawat. Cat temboknya sudah mengelupas sehingga bangunannya tampak menghitam. Untungnya di bagian belakang ada rumah-rumah tradisional Batak tempat pengunjung belajar menari Tortor ditemani Si Gale Gale (patung kayu yang bisa menari). Juga ada joglo besar tempat almarhum TB Silalahi dimakamkan.

Kemajuan Balige yang signifikan adalah sekolah-sekolah unggulan nasional berasrama yang didirikan oleh tokoh masyarakat Toba, seperti SMA Negeri 2 milik TB Silalahi dan SMA Unggul Del milik Luhut Binsar Pandjaitan. Kalau Hotman Paris Hutapea sih nggak punya sekolah, tapi dia punya hotel di Balige lho!

Dari segi standar pelayanan, Balige belum oke sih. Mungkin karena perbedaan budaya, orang Batak kan doyan menyalak duluan. Hehe! Contohnya ketika sebuah restoran yang sudah saya booking untuk rombongan dan sudah bayar DP, tapi pas sampai sana, eh meja belum diatur sama sekali, malah berantakan. Saya pun bertanya kepada supervisor, “Kak, kenapa mejanya belum diatur? Ini kan sudah jam 7?”

“Tidak bisa! Kami tidak bisa bikin meja bulat-bulat!” jawabnya keras.

“Hah? Siapa yang minta meja bulat-bulat? Tinggal gabungkan tiga meja ini kok!”

Rupanya dia pikir kami akan meeting yang duduknya melingkar (bulat menurut dia) kayak di ruang meeting. Hahaha!

Balige belum ada mal, tapi ada Indomaret dan Alfamart yang selalu ramai dikunjungi warlok namun antrean di depan kasir bikin emosi. Karena tidak banyak yang bayar pakai kartu debit/kartu kredit, mesin EDC baru dicolok kabel internet kalau ada permintaan. Tau sendiri kan harus menunggu berapa lama? Pernah kartu debit saya nggak bisa transaksi, jadi mbaknya minta bayar tunai. Pas saya cek di aplikasi, eh duit udah di-charge! Tentu saya komplen, itupun penanganannya sangat lama karena ternyata mesin EDC tidak ada kertas dan supervisornya pun lupa password! Hadeuh!

Bagaimana dengan kampung bapak saya? Saya tidak mengenali lagi jalan masuknya karena sudah ramai dengan perumahan. Tinggal rumah opung (ibu bapak saya) yang masih tradisional berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu–sekarang ditempati oleh sepupu saya, yang lainnya sudah rumah tembok. Sawah milik keluarga sudah tertutup perumahan, namun di baliknya masih terbentang luas. Katanya, panen beras semakin berkurang karena program pemerintah mewajibkan tanam padi terus tanpa jeda tanaman kacang seperti kebiasaan dahulu kala. Sementara makam keluarga kami masih seperti dulu; terletak di atas bukit memandang Danau Toba yang indah.

Rumah Opung

Sambil makan Naniura (sashimi Batak) lezat yang ikannya diambil dari empang sebelah rumah opung, mata saya berkaca-kaca. Entah sampai kapan Balige akan bertahan indah, seperti ingatan saya sejak kecil.


Bila Anda menyukai tulisan perjalanan saya, silakan berkontribusi dengan menyumbang “uang jajan” di sini supaya saya semakin semangat menulis di blog yang berusia 19 tahun ini. Terima kasih!

2 Comments

  • anggik
    February 10, 2024 8:45 pm

    Saya perantau di Provinsi Sumut sejak 2011 dan memang setiap berkunjung ke Tao Toba selalu terpukau berkali-kali tanpa berkecuali. Sisi Balige memang menarik nampaknya karena saya pun belum pernah explore, cuma pernah lewat saja. Karena tulisan ini jadi mau explore Balige, deh.

    • Trinity
      February 12, 2024 11:23 pm

      Balige menunggumu! 🙂

Leave a Reply

Leave a Reply