Traveling di Turki pada masa pandemi

Traveling di Turki pada masa pandemi

Karena pandemi, sudah 7 bulan saya di rumah aja. Giliran PSBB dilonggarkan, eh warga Indonesia malah dilarang masuk oleh puluhan negara. Nggak usah ditanya gimana rasanya saya yang hidupnya di jalan harus terkungkung sekian lama!

Begitu Turki buka border bagi seluruh warga negara di dunia mulai Juli 2020, saya langsung gatel pengin pergi, tapi… masih parno sama corona! Saya pun riset sana-sini. Kesimpulannya: grafik kasus Covid-19 di Turki sudah melandai, sementara di kita masih terus naik. Bahkan pemerintah Turki telah menerapkan program Safe Tourism Certification Program untuk mensertifikasi fasilitas pariwisata dan memastikan kesehatan dan keamanan para pekerja dan pengunjung. Lembaga yang telah terakreditasi memeriksa dan menilai fasilitas tersebut secara berkala sesuai standar internasional. Bila sudah lolos, maka fasilitas tersebut diberikan logo, QR code, dan diumukan ke publik sehingga semua orang bisa mengakses data pemeriksaan. Jadi bukan hanya sekedar cek suhu dan pakai masker doang.

Namun agar lebih aman lagi, saya membuat itinerary yang banyak aktivitas outdoor yaitu di sekitar pantai Mediterania. Saya juga memastikan agar terbangnya naik Turkish Airlines karena merupakan satu-satunya maskapai yang direct flight Jakarta-Istanbul. Lalu pakai private tour dengan hotel, restoran, dan transportasi yang sudah tersertifikasi Safe Tourism, termasuk asuransi bila saya terkena Covid-19. Bahkan guide dan supirnya aja saya minta rapid test dulu. Setelah semua dipastikan, saya dan sahabat saya, Sri, berangkat pada 19 September 2020.

Apa perbedaannya traveling di masa kenormalan baru ini?

Pertama, Turkish Airlines menerapkan kebijakan bahwa tidak boleh bawa koper kabin, jadi bolehnya bawa tas kecil dengan maksimum berat 4 kg. Alasannya, kabin tidak boleh dibuka karena akan membuat para penumpang berebutan koper sambil berdiri sehingga lebih beresiko penyebaran virus. Begitu masuk pesawat, biasanya kita dapat pouch berisi penutup mata, ear plugs dan sikat gigi, sekarang dapatnya hygiene kit berisi masker, alcohol wipes dan hand sanitizer. Duduknya diberi jarak. Kemarin sih, baik ekonomi dan bisnis tengahnya dikosongkan. Yang beda banget adalah sekarang tidak ada lagi makanan dan minuman panas, semua makanan dibungkus plastik di dalam kotak, minuman pun terbatas hanya botolan yang tertutup. Tidak ada lagi troli makanan yang lewat-lewat, pramugara/i benar-benar dibatasi kontaknya dengan penumpang. Tengah malam haus, saya lah yang harus berjalan ke galley untuk minta air botolan.

Mendarat di bandara Istanbul, saya kaget karena bandaranya baru dan gede banget! Rupanya sudah setahun ini bandaranya dipindah ke lokasi baru, jadi nggak ada lagi bandara lama yang sumpek itu. Semua penumpang lalu di-scan suhu tubuh otomatis di bandara, lalu di imigrasi menyerahkan formulir kesehatan. Beres! Rapid test dari Indonesia saya aja nggak diperiksa sama sekali.

Dua hari pertama kami jalan-jalan di Istanbul. Ya standar turis sih ke Hagia Sophia, Blue Mosque, Topkapi Palace, Taksim Square, Grand Bazaar, ditambah Dolmabahçe Palace. Mau update sedikit tentang Hagia Sophia yang menghebohkan warga +62 karena baru saja diubah dari museum menjadi masjid. Warga lokalnya mah biasa aja menanggapi, secara masjid juga udah banyak di sekitar situ. Perbedaannya, sekarang gambar mosaik Bunda Maria dan simbol Kristiani di dinding ditutupi, lantai dua juga ditutup, dan seluruh lantai dasar ditutupi karpet hijau.

Sementara di Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed) sedang direnovasi besar-besaran jadi sebagian besar ditutup. Di kedua tempat itu saya tidak berlama-lama karena parno liat banyak turis di dalam ruangan! Protokolnya yang keren adalah ketika turis bule harus menutup aurat masuk ke masjid biasanya dipinjami kerudung atau jubah, sekarang dikasih kain yang sekali pakai!

Selanjutnya saya melipir ke selatan Turki, tepatnya di sekitar Laut Mediterania. Dari Istanbul terbang ke Dalaman (nama kotanya bikin pengen nanya, “Dalaman lo warna apa?” Hehe!) naik Turkish Airlines yang kursi tengahnya juga dikosongin. Baru pulangnya saya terbang dari kota Antalya.

Laut Mediterania atau disebut juga Laut Tengah terletak di utara benua Afrika sampai selatan benua Eropa yang garis pantainya dimiliki oleh 22 negara, mulai dari Spanyol, Italia, Kroasia, Yunani, Turki, Lebanon, Israel sampai Mesir dan Maroko. Sejarah Mediterania berperan penting dalam permulaan dan perkembangan Peradaban Barat. Dan… cowok-cowok Mediterania itu kece-kece lho! #eaaa

Berenang, berjemu dan leyeh-leyeh di pantai adalah tujuan utama saya ke wilayah Mediterania. Biru lautnya memang biru banget! Nggak nyangka saya balik lagi ke sini sejak 2008 ikut trip Blue Cruise (kisahnya ada di buku “The Naked Traveler 2”). Namun kali ini highlight-nya adalah diving di Kas! Lagi-lagi nggak nyangka diving pertama saya pada 2020 malah di Turki! Laut Mediterania ini visibility-nya sampai 30an meter saking jernihnya. Saya menyelam di kedalaman 35 meter melihat shipwreck aja masih keliatan permukaan lautnya. Lanskap bawah lautnya berbentuk bebatuan besar bak pilar-pilar dengan gua-gua, tapi karang dan ikannya sepi! Ya bedalah sama kita di negara tropis.

Turki (dulu disebut Asia Minor atau Anatolia) mungkin memiliki lebih banyak reruntuhan peninggalan bangsa Romawi dibanding di Italia sendiri. Sudah tiga kali ke Turki tapi masih banyak yang belum saya kunjungi. Mumpung sedang berada di propinsi Antalya, kali ini saya mengunjungi Xanthos, Patara, Demre, Aspendos, dan Perge – semuanya dibangun oleh bangsa Romawi pada abad ke-1 SM, bahkan sebagian dibangun pada periode Lycian (abad ke-5 SM) dan Hellenistik (abad ke-3 SM). Kota-kota kuno dengan pilar-pilar marmer dan toko-toko di sepanjang jalan utama dengan air mancur, amfiteater berkapasitas ribuan orang tempat pertandingan gladiator (antarmanusia maupun manusia lawan hewan buas), monumen mata air beserta aqueduct (terowongan air), tempat pemandian, basilika, makam-makam kuno yang dipahat pada batu gunung, dan lain-lain benar-benar bikin berdecak kagum! Maju banget peradaban ribuan tahun yang lalu. Hebatnya, reruntuhannya masih terpelihara dengan baik!

Aspendos

Ada cerita penting tentang kota Demre (dulunya bernama Myra) yang terdapat Gereja Saint Nicholas yang juga makamnya. Santa Nicholas adalah seorang Uskup di Myra yang memang terkenal suka membagi-bagikan hadiah kepada orang miskin secara sembunyi pada malam hari. Berasal dari beliaulah figur Sinterklaas dikenal di Eropa, lalu berkembang menjadi Santa Claus di Amerika dengan percampuran budaya dan kepentingan komersial. Jadi Santa Claus ternyata berasal dari Turki, gaes!

Soal makan, saya strict banget hanya mau makan di restoran yang outdoor karena pas makan akan lepas masker jadi perlu pertukaran udara yang baik. Kalau di Istanbul makan daging-dagingan ala kebab, di Mediterania saya makanannya ikan dan seafood. Mana propinsi Antalya merupakan salah satu penghasil sayuran dan buah-buahan terbesar di Turki, jadi saya puas makan aneka salad dan buah manggis segar!

Amankah Turki?

Di Turki peraturannya semua orang harus pakai masker begitu keluar rumah, kalau nggak kena denda. Setiap warganya setiap keluar rumah harus mendafarkan diri pada aplikasi yang disediakan pemerintah agar diketahui pergerakannya dan untuk contact tracing. Informasi maupun peringatan tentang protokol Covid-19 tersebar di mana-mana, hampir di tiap sudut. Hebatnya lagi, hand sanitizer juga disediakan di mana-mana, bahkan di pasar sekalipun! Saya lihat semua orang memang pakai masker, cuman memang kadang ada yang melorot. Yang nggak pake masker itu justru turis-turis bule! Memang sih di luar ruangan, tapi kan mereka rombongan sebus yang nggak pake masker semua. Begitu ada turis kayak begitu lewat, saya buru-buru menjauh.

Hotel yang sudah bersertifikasi Safe Tourism membersihkan fasilitasnya lebih teliti lagi, seperti handuk diplastik, bantal diplastik, alat makan dimasukan ke dalam amplop, tidak disediakan condiment (garam, merica, saus) di meja, tidak ada makanan prasmanan, menu digital. Masker surgical dan hand sanitizer diawur-awur di hotel dan restoran, sebelum masuk pintu atau lift. Bahkan tiap meja diberikan sebotol hand sanitizer sampai-sampai saya hampir meminumnya karena disangka air mineral!

Traveling di masa pandemi ini membuat bawaan saya jadi tambah banyak. Baju sekali pakai. Tas selempang isinya hand sanitizer, masker ekstra, disinfektan, tisu basah, tisu kering. Di bandara dan pesawat saya tambah pakai face shield setelah masker. Setiap mau menyenderkan tangan ke meja atau mau ke WC, saya bersihkan dulu pakai disinfektan. Setiap balik ke hotel langsung mandi, ganti baju, bersihkan jam tangan dan hape, minum vitamin. Nggak apa-apa deh parno, daripada cuek. Ya kan?

Intinya, di Turki pada masa pandemi ini kehidupan berjalan normal aja, semua buka dan beraktivitas seperti biasa. Bedanya pakai masker aja! Saya sampai berhenti mengoleksi foto cowok-cowok ganteng karena semua muka nggak kelihatan – untung dua guide saya ganteng abis (intip deh di Highlight Instagram @trinitytraveler)! Positifnya karena belum banyak turis, saya tidak pernah antre masuk ke tempat wisata apapun. Perbedaan terbesar bagi saya adalah: baru kali semua foto traveling saya pakai masker!

Tips penting:
Sebelum pulang ke Indonesia, wajib tes PCR dulu di Turki supaya nanti sampai di Indonesia nggak dikarantina di wisma atlet. Saya minta tolong hotel di Antalya panggilin dokter untuk tes, biayanya cuman 29 Euro dan hasilnya kurang dari 24 jam.