Mendengar kata “jalan-jalan di Jepang” rasanya langsung terbayang 1 kata, yaitu “mahal”. Tapi apa benar Jepang semahal itu? Setelah merasakan sendiri jalan-jalan di Jepang, saya berkesimpulan bahwa Jepang tidak semahal yang saya bayangkan. Malah masih lebih murah daripada Eropa. Soal bahasa, ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Malah jauh lebih sulit ketika saya traveling di China daratan. Orang-orang Jepang itu ramah dan sopan, meski tidak bisa berbahasa Inggris tapi kalau kita bertanya akan diberi tahu dengan detail bahkan kadang diantar.
Anyway, mahal memang relatif, tapi kalau tahu caranya, kita bisa kok menekan budget. Berikut tips jalan-jalan hemat di Jepang secara general (Catatan: 1 Yen = Rp 108, harga di November 2010);
Kebanyakan orang kalau jalan-jalan ke Thailand untuk liat candi dan istana, makan-makan, belanja, pijat, atau ke pantai (yang ramai). Setelah kesekian kalinya ke Thailand, saya mencoba aktivitas yang lain daripada yang lain, yang hanya ada di Thailand, seperti menonton show alias pertunjukan. Jangan mesum dulu, ini bukan show “begituan” di Patpong kok. Meski saya juga pernah nonton sampe-sampe buku pertama saya dibredel karena menceritakan dengan gamblang apa yang saya lihat di sana, tapi ada show-show lain di Thailand yang sangat menarik untuk disimak.
Thailand terkenal dengan para ladyboy alias banci, tapi mereka tidak malu karenanya. Kalau kita menganggap tabu, di sana malah dijadikan obyek wisata yang menguntungkan. Karena penasaran, saya nonton show banci di Calypso Cabaret di Bangkok beberapa tahun yang lalu. Jangan kira banci-banci ini seperti yang kita lihat di perempatan lampu merah atau di taman-taman gelap, banci Thailand ini cantik dan berbakat. Show itu lucu, parodi bintang-bintang Hollywood meski jauh dari mirip karena operasi transgendernya belum sempurna. Minggu lalu saya nonton lagi kabaret banci bernama Tiffany’s Show di Pattaya yang mengklaim diri sebagai The Original Transversite Show yang berdiri sejak tahun 1974. Bedanya, di Tiffany ini teaternya tiga kali lebih besar dan pertunjukannya lebih cultural dan serius. Kostumnya bak karnaval dengan bulu-bulu tinggi di kepala dan baju berpayet, setting panggung pun variatif sesuai tema. Demi selera pasar, mereka juga menampilkan tarian dan nyanyian Korea, China, Rusia, India – 4 besar asal turis di Thailand. Agak bosan menonton 1,5 jam pertunjukannya sih, tapi begitu keluar gedung saya justru tercengang melihat para banci yang cuantik-cuantik dan luangsing buanget! Hasil permaknya sempurna: rahang kecil, hidung mancung, payudara besar, bulu hilang, jakun pun hilang. Nggak pernah saya lihat banci “sesempurna” di situ. Konon banci Tiffany paling cantik se-Thailand, bahkan setahun sekali mereka bikin pemilihan Miss Tiffany yang akan menjadi bintang panggung.
Bayangkan kalau ada sebuah tempat yang mengklaim dirinya dengan moto “surga di atas, surga di bawah”. Jangan jorok dulu, itu adalah motonya Wakatobi – sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara. Disebut juga Tukang Besi Islands, wilayahnya seluas 1,39 juta hektar tapi 97%-nya adalah laut dan dihuni sekitar 100 ribu penduduk. Fakta yang sangat menarik, alam bawah laut Wakatobi memiliki 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di dunia. Red Sea yang terkenal itu aja cuma ada 200 spesies, bahkan Karibia cuma ada 70 spesies! Pentingnya keanekaragaman terumbu karang bagi para penyelam adalah kita dapat melihat beraneka ragam spesies di satu tempat sekaligus tanpa banyak usaha, jadi nggak liat yang itu-itu doang.
Saya membuktikan “surga di bawah” ketika menyelam di sekitar Pulau Tomia dan Hoga. Tak usah sampai menyelam, dari kapal pun terumbu karangnya terlihat jelas. Begitu masuk… widiih, terumbu karangnya rapat menempel, tumbuh subur dan sehat. Sekali jalan memang tidak pernah sama pemandangannya. Mulai dari karang yang bentuknya seperti otak, di sebelahnya ada karang berbentuk hamparan kembang kol dan mawar raksasa, lalu bentuk pentol-pentol, bentuk meja, dll. Belum lagi soft coral-nya mulai dari bentuk bunga kecil, pohon, jamur, sampai kipas laut (sea fan) yang gede-gede dan berwarna-warni ngejreng.
Traveling lagi hits banget! Sejak ada budget airlines, orang jadi lebih mudah bepergian. Jaringan hotel internasional pun mulai buka hotel versi budget. Blog dan komunitas khusus jalan-jalan tumbuh subur. (Saya boleh berbangga) sejak ada buku The Naked Traveler, terbitlah buku-buku perjalanan lainnya. Meskipun demikian, masih banyak orang yang tidak tahu bagaimana merencanakan liburan, mulai dari booking pesawat, sampai mencari penginapan dan tur. Setiap hari saya menerima banyak e-mail yang bertanya “di sana nginepnya di mana ya?” atau “ngapain aja ya enaknya?”. Bagi sebagian orang, ada yang malas repot cari-cari hotel dan tur – maunya semua sudah terencana dengan baik.
26 Mei 2010 lalu, AirAsiaGo.com resmi diluncurkan. Ia adalah one-stoponline travel portal, artinya situs online untuk pemesanan pesawat, hotel, tur, aktivitas, sampai antar-jemput dari-ke bandara. Sebenarnya 5 tahun yang lalu sudah ada dengan nama GoHoliday, tapi sekarang telah diperbaharui sehingga lebih lengkap dan user-friendly. Jumlah hotelnya aja lebih dari 70.000 dan bukan hanya di kota-kota yang dilayani Air Asia saja. Ditambah lagi 5.000 tur dan aktivitas yang bisa dipilih bersamaan dengan booking. Bila travel agent menawarkan paket-paket liburan yang sudah ditentukan oleh mereka, sekarang kita bisa bikin paket sendiri. Yah preferensi orang terhadap liburan kan beda-beda, apalagi budget-nya. Peluang itulah yang dimanfaatkan grup Air Asia. Setelah AirAsia.com dan TuneHotels.com sukses merubah cara orang berlibur, maka AirAsiaGo.com akan merubah pengalaman liburan. Tony Fernandes, CEO Air Asia, memang brilian!
Tiga tahun belakangan ini, saya semakin sering melihat para pelancong dunia yang membawa komputer sendiri. Maksudnya, laptop atau netbook. Dulu orang yang bawa-bawa komputer hanyalah para pelaku bisnis, sekarang backpacker pun bawa. Dulu hostel yang menyediakan warnet paling dicari orang, sekarang hostel yang memiliki free wifi paling diminati – apalagi kalau ada free wifi di tiap kamar. Di café atau restoran pun berlomba-lomba menyediakan free wifi.
Sebelum boarding di bandara luar negeri, sering para penumpang disuruh membuka tas dan memisahkan komputernya untuk di-scan di X-Ray. Sejak itulah rasa gengsi akan komputer timbul. Rasanya malu juga kalau punya laptop yang modelnya rikiplik, gede, tebel dan merk tidak terkenal. Rupanya perasaan itu juga dimiliki oleh penumpang lain karena saya suka nguping komentar mereka melihat komputer orang lain. Bahkan kalo ada model bagus yang jarang di pasaran, tak jarang ditanyai “What is your notebook?”.