by Vinda L.S.*

Saya pikir di negara maju macam Eropa itu toilet umumnya gratis, eh ternyata bayar dan mahal pula. Meskipun bayarnya ‘hanya’ berupa sebuah koin 1 Euro, tapi kalau dikurskan sama dengan Rp 16.000,-. Gila, buang air aja harganya sama dengan makan kenyang di Indonesia! Karena saya pikir gratis sehingga tidak siap dengan uang receh, sering kejadian saya jadi bolak-balik cari duit koin untuk ke toilet. Di Luxembourg, saya terpaksa harus berlari kembali ke bis untuk mengambil uang 50 sen sambil terseok-seok menahan pipis. Beberapa tahun kemudian di Stasiun KA Frankfurt Main Hbf , saya terpaksa berlari-lari meminjam 70 sen koin temen saya yang ada di luar. Di Roma Termini, toiletnya pakai sistem seperti gerbang di subway, masukkan koin dan gerbangnya terbuka. Saya sudah siap dengan 75 sen, ternyata masih kurang karena harganya 1 Euro, terpaksa ke luar lagi deh cari tambahan koin.






Sampah seharusnya dibuang di tempat sampah, tapi kadang-kadang sampah malah menarik untuk disimpan. Alasannya mungkin berbeda-beda; salah satunya adalah sampah bisa memiliki potensi mengembalikan kenangan menarik. Ibarat kunci, sampah tertentu bisa membuka laci memori di otak dan memanggil kembali kenangan yang lama tersimpan, terutama kenangan liburan yang selalu menyenangkan. Begitulah, setiap liburan, saya paling rajin mengumpulkan sampah. Sukses-tidaknya sebuah liburan pun bisa dihitung dari jumlah sampah yang dikumpulkan dan ditempelkan di dalam buku harian saya. Pulang-pulang pasti jadi makin tebal dengan tempelan berbagai sampah, seperti tiket kereta, bon restoran, atau bungkus permen karet. Saya pun dengan mudahnya mengingat kejadian-kejadian apa di balik secarik sampah tersebut. Rasanya lebih emosional daripada melihat foto-foto.