Apa perbedaan TNT1 dan TNT2? – TNT2 lebih tebal dibanding TNT1. Yang sekarang >350 halaman gitu loh, jadi lebih puass! – TNT1 isinya masih basic, TNT2 sudah advance. Maksudnya, TNT1 merupakan pengenalan terhadap dunia jalan-jalan. Sedangkan TNT2 ceritanya lebih mendalam, fokus, merupakan pure travel writing yang menghibur dan tetap lucu. Tapi intinya sama: it’s not the destinations but the journey.…
by Reevo Saulus*
Sebagai penggemar traveling, saya suka menonton acara acara yang berbau travel, terutama The Amazing Race Asia (TARA). Sebuah reality show dimana terdapat 10 tim yang harus berlomba mengelilingi belahan dunia dengan mengatasi tantangan-tantangan. Dari semua peserta TARA, saya sangat mengidolakan Collin Low asal Singapura. Ia adalah pemenang pada musim kedua bersama temannya yang tuna rungu, Adrian Yap. Di antara Adrian dan Collin, saya lebih akrab dengan Collin karena saya sering chatting sama dia. Di sela-sela waktunya yang padat, ia sering memberi support kepada saya dengan urusan sekolah. Pria berumur 36 tahun dan masih single itu berprofesi sebagai instruktur senam dan personal trainer di sana, maka saya pun suka meminta tips berolahraga yang baik dan benar.
Gara-gara Collin, saya ingin sekali ke Singapura untuk bertemu dengannya. Tapi saya masih pelajar SMA, belum punya uang sendiri. Sudah lama saya meminta ayah saya untuk pergi ke sana, tapi belum kesampaian juga. Akhirnya pada bulan Desember 2008 karena ayah ada urusan pekerjaan ke Singapura, maka saya pun diajaknya. Horee! Begitu sampai Singapura, saya pun menghubungi Collin lewat SMS. Tetapi sayang, tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah lupa dengan saya. Rasanya sedih banget. Gagal lah rencana bertemu idola. Saya menghabiskan waktu dengan jalan-jalan bersama ayah, tapi saya tetap sedih memikirkan Collin.
by Oktarina Prasetyowati (Okke)
Saya sempat tinggal selama setahun lebih di Timor Leste karena urusan pekerjaan. Mau tidak mau saya harus bisa berbahasa lokal, yakni bahasa Tetun. Sebenarnya saya sudah disuruh-suruh untuk belajar sejak pertama kali menjejakkan kaki di sana, tapi ternyata orang-orang di Dili, baik yang muda maupun yang tua masih bisa berbahasa Indonesia. Murid-murid saya pun kebanyakan anak SMU dan mahasiswa. Mereka mengerti banget setiap perkataan saya dalam bahasa Indonesia. Jadi ya sudah, saya tidak merasa perlu untuk serius mempelajari bahasa ini. Jadi tiga bulan pertama, kemampuan bahasa saya turis banget. Palingan standar penguasaan kata-kata dasar pada kursus bahasa: Bon dia (Selamat pagi), Botarde (Selamat siang/sore), Bon noite (selamat malam), Obrigado (Terima kasih), Desculpa (Maaf), Lisensa(Permisi). Hau nia naran Okke (Nama saya Okke), Hau husi Indonesia (saya dari Indonesia), hau hela iha becusse centro (saya tinggal di Becusse Centro).
by Mayawati Nurhalim*
Siapa pun yang berniat jalan-jalan ke India, bersiaplah mengalami serangkaian peristiwa mengejutkan. Apalagi kalau kita mengunjungi kota-kota kecilnya yang miskin. Bukan cuma soal jorok dan kumuh, melainkan juga soal banyaknya pengemis agresif dan para penipu berkedok macam-macam.
Lagi enak-enak tidur di kamar hotel, bisa-bisanya pintu diketuk 4 orang cleaning service berbadan tegap berkulit gelap laksana bodyguard demi dapat tip. Gara-garanya saya pernah kasih tip kepada salah seorang room boy. Rupanya air susu dibalas air tuba. Room boy lainnya jadi hobi mengetuk kamar, mengantarkan apa saja yang tidak kita minta. Begitu pula dengan para pengemis yang ternyata sangat ‘setia kawan’. Saya pikir aman memberikan uang pada pengemis cilik yang berdiri sendirian di gerbang hotel. Eh ternyata si pengemis ini solider kepada teman-teman seperngemisannya. Dia kasih tahulah kalau rombongan kami murah hati, dan wusshh… tiba-tiba banyak pengemis lain membuntuti kami. Pake acara nyolek-nyolek lengan kita segala. Yang mengejutkan, setelah kakak saya bilang “Sorry” dan tak memberi uang, kakak saya dibentak oleh seorang pengemis cilik perempuan, “No sorry!”. Buset.
Siapa sih yang nggak mau jalan-jalan murah? Sejak ada low cost airlines, orang semakin mudah dan murah untuk bepergian jauh. Orang pun sudah maklum terhadap konsep ‘ada harga ada mutu’. Tapi untuk mencari penginapan murah, masih banyak orang yang kelimpungan.
Tidak semua penginapan punya website. Kalau pun ada, bawaannya curiga karena takut hanya bagus di gambarnya doang. Sejak ada konsep hostel di negara barat, orang sudah mengerti bahwa kalau mau murah harus terima tidak nyaman. Sayangnya masih banyak yang salah kaprah memberikan nama, bahkan ada hidden charge yang tidak diinformasikan sebelumnya.
Tahun lalu di kota Fethiye, Turki, akibat sebuah hostel melakukan kesalahan over-booking, saya dipindahkan ke sebuah hotel dengan harga sama. Tentu saja saya senang sekali bisa tinggal di hotel dengan harga hostel. Begitu masuk kamarnya, saya sibuk mencari remote control AC dan TV. Maklum saya habis berlayar naik kapal laut selama 4 hari dengan suhu udara mencapai 40°C, jadi bawaannya mau ‘ngadem’ di kamar sambil nonton TV. Saya sampe memanjat meja untuk mencoba menyalakan AC secara manual dan memencet-mencet segala tombol di TV, namun tetap tidak bisa nyala. Lalu saya menghubungi resepsionis. Katanya kalau mau pake AC harus bayar tambahan 10 Turkish Lira, begitu pula dengan TV. Dengan misuh-misuh saya akhirnya membayar extra charge demi AC dan melupakan nonton TV, baru mereka memberikan saya remote control. Sialan, jebakan batman! Kalau saja hotel mau terbuka memberikan informasi lengkap sebelumnya, saya sih nggak bakal sekesal ini.