Author page: Trinity

Anthology Posts

Parnonya newbie backpacker

by Ariessita*

Belitong

Saya tuh pada dasarnya hobi jalan-jalan, tapi parno alias takuut banget untuk jalan sendiri karena takut diculik. Gara-garanya saya pernah nonton film tentang orang yang diculik, terus diambil ginjalnya, lalu korbannya terbangun di bathtub penuh dengan sayatan di pinggang kiri. Hiih! Tapi karena ‘kemakan’ sama buku Laskar Pelangi, saya menetapkan Belitong sebagai tujuan pertama sebagai backpacker newbie. Saya berhasil meracuni 2 orang teman, tapi mereka berangkat dari Palembang – artinya saya pergi sendiri dari Jakarta. Haduh.

Karena keparnoan saya lagi, saya ogah naik maskapai abal-abal karena tidak mau berakhir di rumah sakit, atau yang lebih parah, ke akhirat. Maka saya bela-belain naek Garuda berangkat dari Jakarta ke Bangka lalu naik kapal laut selama 4 jam ke Belitong. Sialnya, Garuda berangkatnya jam 6 pagi supaya bisa mengejar kapal yang brangkat jam 2 siang. Duh, berada di bandara jam 4 pagi sungguh tidak berperikemanusiaan karena saya harus bangun lebih pagi dari ayam.

continue reading

Anthology Posts

Jilbab Traveler

by Nelda Afriany*

Nelda (tengah) bersama teman2

Sebagai wanita Indonesia berjilbab, banyak yang bertanya kepada saya apakah saya pernah mendapatkan masalah selama berada atau bepergian di luar negeri. Beberapa bahkan bertanya apakah saya masih pake jilbab, disangka saya rela melepaskannya demi cari aman. Sulit juga menjawabnya, sebab saya punya pengalaman yang berbeda-beda yang tidak bisa digeneralisasikan.

Dari awal mula mengirim aplikasi untuk pekerjaan di Norwegia, saya ingat saat itu setelah hebohnya peristiwa 9/11. Syukur Alhamdulillah, sampai diterima dan bekerja, kantor saya tidak pernah mempermasalahkan keislaman dan jilbab saya meskipun kantor itu adalah komunitas berbasis Kristen. Salah satu teman kerja yang berasal dari Kanada pernah berkomentar, “Awalnya saya memang nggak biasa melihat kamu dengan penutup kepala seperti itu. Tapi lama-lama ya jadi biasa saja.” Ada juga rekan kerja dari Amerika yang bertanya, “Bagaimana pesta pernikahan di budaya saya sebagai muslim?”. Mungkin dia bingung bagaimana bentuk baju pengantin wanitanya. Beberapa hari kemudian, dia bertanya lagi, “Bagaimana dengan budaya pemakaman orang yang meninggal?”. Rasanya saya jadi duta besar Muslim saat menerangkan hal-hal seperti ini kepada mereka.

continue reading

Anthology Posts

Orang kita di Hongkong dan Macau

by Ellen Eliawaty*

Hotel di Macau

Karena digoda iklan pariwisata yang hampir setiap hari muncul di koran, kami pun berketetapan hati untuk berangkat ke Hongkong dan Macau pada akhir Desember 2009 lalu. Dalam pesawat Garuda yang membawa kami dari Jakarta, semua kursi penuh-nuh-nuh, tidak ada satu pun yang kosong. Hebatnya, hanya kurang dari 10 orang saja yang bukan orang Indonesia. Nyaris semua orang Indonesia, orang kita, alias Wong Kito Galo (“orang kita semua” dalam bahasa Palembang). Dalam hati saya bergumam sendiri, ternyata bukan kami saja yang termakan iklan, banyak juga yang lain. Tak terasa penerbangan sekitar 5 jam kami lalui dengan aman dan sentosa serta bahagia. Terutama bagi saya pribadi karena merasa rotinya kali ini enak sekali, lebih lembut dan harum – satu awal yang baik bagi Garuda yang katanya sedang berbenah diri.

Sesampainya di Bandara Hongkong, seru sekali melihat orang-orang yang begitu bersemangat mempersiapkan diri dengan jaket tebal, bahkan topi dan sarung tangan wol, bagaikan hendak berseluncur di pegunungan Alpen, padahal kami semua masih berada di dalam gedung bandara. Terlihatlah bendera-bendera biro perjalanan yang selama ini memasang iklan di koran menghiasi langit-langit Bandara. Rupanya saat ini mereka sedang panen. Saya yang semula santai jadi ikut-ikutan bersemangat. Ciaaa…youu…! (artinya “bersemangat “dalam bahasa Mandarin, walaupun secara harafiah berarti “tambah minyak”).

continue reading

Anthology Posts

Ikan mistis

by Rocky Martakusumah*

Ikan mistis di Jawa Barat

Di Indonesia, budaya mistis dan hal yang berbau gaib amat dekat dengan kehidupan masyarakat. Saya rasa legenda hantu di Indonesia bisa jadi yang terbanyak sedunia. Gimana nggak, dari tuyul yang merupakan hantu berusia balita sampai nenek lampir yang lansia semuanya punya cerita. Belum lagi kemampuan supranatural yang dimiliki, contohnya dukun. Ada yang jago santet, ada yang seperti Limbad, bahkan saat zaman penjajahan dulu banyak cerita mistis yang membuat para penjajah “ciut”.

Di salah satu daerah di Jawa Barat, saya pernah diceritakan bahwa zaman dahulu ada sebagian orang-orang luar biasa yang katanya kebal terhadap peluru! Saya sendiri belum pernah memeriksa benar atau tidaknya, tapi di daerah tersebut cerita ini merupakan legenda yang diceritakan turun-menurun oleh para orangtua ke anaknya. Ada juga cerita waktu saya ke Kalimantan Barat. Ada sebuah makam yang merupakan kuburan para korban penyiksaan zaman penjajahan Jepang. Tempatnya seram, dan anehnya ada satu area yang tanah sampai daun-daunnya berwarna merah. Menurut penduduk lokal, hal itu terjadi karena di titik itulah para pejuang- pejuang Indonesia disiksa, bersimbah darah, dipenggal kepalanya hingga terbunuh.

continue reading