Author page: Trinity

Anthology Posts

Jadi guru TK di sekolah Thailand

by SN*

sesi curhat

Awal tahun 2010 saya berangkat ke Thailand dengan tujuan mengambil sertifikasi mengajar di Pattaya. Dengan bantuan sekolah perantara, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk magang di salah satu sekolah swasta di daerah Sriracha yang merupakan kawasan industri antara Bangkok dan Pattaya.

Tiba di sekolah, saya terkagum-kagum melihat gedung sekolah yang ternyata cukup besar. Total murid di sekolah tersebut hampir mencapai 2000 orang dengan staf guru hampir 80 orang. Dimulailah sesi wawancara dengan sang manajer yang merangkap sebagai penerjemah, sang kepala sekolah yang tidak bisa berbahasa Inggris, dan sang wakil kepala sekolah yang katanya sih bisa berbahasa Inggris tetapi hanya senyum-senyum saja. Wawancara itu lebih didominasi oleh perbincangan mereka dalam bahasa lokal, sehingga saya harus pasang tampang cuek berada di tengah-tengah mereka.

continue reading

Travel

Wakatobi: surga di atas, surga di bawah

terumbu karang Wakatobi

Bayangkan kalau ada sebuah tempat yang mengklaim dirinya dengan moto “surga di atas, surga di bawah”. Jangan jorok dulu, itu adalah motonya Wakatobi – sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara. Disebut juga Tukang Besi Islands, wilayahnya seluas 1,39 juta hektar tapi 97%-nya adalah laut dan dihuni sekitar 100 ribu penduduk. Fakta yang sangat menarik, alam bawah laut Wakatobi memiliki 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di dunia. Red Sea yang terkenal itu aja cuma ada 200 spesies, bahkan Karibia cuma ada 70 spesies! Pentingnya keanekaragaman terumbu karang bagi para penyelam adalah kita dapat melihat beraneka ragam spesies di satu tempat sekaligus tanpa banyak usaha, jadi nggak liat yang itu-itu doang.

Saya membuktikan “surga di bawah” ketika menyelam di sekitar Pulau Tomia dan Hoga. Tak usah sampai menyelam, dari kapal pun terumbu karangnya terlihat jelas. Begitu masuk…  widiih, terumbu karangnya rapat menempel, tumbuh subur dan sehat. Sekali jalan memang tidak pernah sama pemandangannya. Mulai dari karang yang bentuknya seperti otak, di sebelahnya ada karang berbentuk hamparan kembang kol dan mawar raksasa, lalu bentuk pentol-pentol, bentuk meja, dll. Belum lagi soft coral-nya mulai dari bentuk bunga kecil, pohon, jamur, sampai kipas laut (sea fan) yang gede-gede dan berwarna-warni ngejreng.

continue reading

Anthology Posts

Is London the Most Expensive City in the World?

by Fadhly Syofian*

Big Ben London

Is London the most expensive city in the world?, demikian keraguan saya. Berita yang saya dengar juga info dari beberapa teman menyatakan demikian. Info ini tentu membuat saya “berhati-hati” karena dompet saya tidaklah cukup tebal untuk dikonversi ke pounds saat berkunjung ke kota London. Berdasarkan survey yang dilakukan CityMayors, lembaga independen yang fokus pada urban affairs, tahun 2008 London berada di peringkat 1 sebagai the most expensive city in the world. Namun berdasarkan survey tahun 2009 yang juga dilakukan oleh CityMayors, peringkat 1-nya adalah Oslo sedangkan London melorot ke peringkat 21. Menurut CityMayors, hal ini terkait dengan devaluasi mata uang poundsterling. Lalu apakah benar London sudah tidak mahal lagi? Saya pun membuktikannya.

Awalnya saya ingin memesan Hotel Ibis di dekat Bandara Heathrow yang tarifnya sekitar 40 pounds/night (Rp 600.000). Tapi atas saran atasan yang memang orang British, dengan memperhitungkan ongkos transportasi dari Heathrow ke London, menginap di hotel sekitar Heathrow bukan pilihan yang tepat karena jatuhnya nanti bisa lebih mahal. Maka dipilihlah Hotel Ibis di Earls Court, Central London. Tarifnya 85 pounds/night alias Rp 1.275.000/malam. Pfff, teramat mahal untuk kelas hotel bintang tiga. Di Indonesia, dengan tarif segitu pasti sudah dapat tidur di hotel bintang lima. Harga segitu belum termasuk breakfast sebesar 8 pounds (Rp 120.000). Saat breakfast, daging yang disajikan adalah daging babi. Jadilah saya cuma sarapan dengan roti dan sup plus perasaan nyesek.

continue reading

Anthology Posts

Banyak bertanya tetap sesat di jalan

by Aan Wulandari Usman*

Nagatami Dam

Sebuah gambar cantik menarik perhatian saya dan suami. Gambar itu ada di peta wisata yang diambil di kantor kecamatan Fukuoka, Kyushu, Jepang. Jembatan merah melintang di atas sebuah danau dikelilingi rerimbunan pepohonan nan hijau. Nagatami Dam, itulah namanya. Selain tempatnya oke, jaraknya di peta kelihatan dekat banget. Terjangkau pula dengan naik sepeda sehingga tak perlu modal untuk ke sana selain otot kaki. Ya, saat itu baru menginjakan bulan kedua kami di Jepang. Acara wisata kami pun masih terbatas yang dekat-dekat.

Akhirnya saat akhir pekan, bersiaplah kami ke sana. Tapi, ternyata oh ternyata, menuju ke sana dengan naik sepeda tak semudah menjalankan jari di peta. Baru beberapa menit jalan, sudah lost! Nggak tahu dimana posisi kami. Akhirnya asal blusak blusuk sesuai feeling aja. Dan hasilnya adalah semakin bingung!

continue reading

Anthology Posts

Parnonya newbie backpacker

by Ariessita*

Belitong

Saya tuh pada dasarnya hobi jalan-jalan, tapi parno alias takuut banget untuk jalan sendiri karena takut diculik. Gara-garanya saya pernah nonton film tentang orang yang diculik, terus diambil ginjalnya, lalu korbannya terbangun di bathtub penuh dengan sayatan di pinggang kiri. Hiih! Tapi karena ‘kemakan’ sama buku Laskar Pelangi, saya menetapkan Belitong sebagai tujuan pertama sebagai backpacker newbie. Saya berhasil meracuni 2 orang teman, tapi mereka berangkat dari Palembang – artinya saya pergi sendiri dari Jakarta. Haduh.

Karena keparnoan saya lagi, saya ogah naik maskapai abal-abal karena tidak mau berakhir di rumah sakit, atau yang lebih parah, ke akhirat. Maka saya bela-belain naek Garuda berangkat dari Jakarta ke Bangka lalu naik kapal laut selama 4 jam ke Belitong. Sialnya, Garuda berangkatnya jam 6 pagi supaya bisa mengejar kapal yang brangkat jam 2 siang. Duh, berada di bandara jam 4 pagi sungguh tidak berperikemanusiaan karena saya harus bangun lebih pagi dari ayam.

continue reading