Salar de Uyuni adalah padang garam terluas di dunia yang terletak di negara Bolivia, benua Amerika Selatan. Ini salah satu bucket list saya dari dulu! Kalau sudah baca buku The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip, pada 2013 saya sudah pernah segitu dekatnya dengan Bolivia, eh sampai di perbatasan Peru-Bolivia saya ditendang!
Akhirnya pada akhir 2018 saya berkesempatan ke Bolivia. Cerita tentang drama masuk Bolivia, bisa dibaca di sini. Karena tidak punya banyak waktu, saya terbang dari Santa Cruz ke Uyuni naik pesawat baling-baling yang tiba malam hari. Perlu diketahui, Uyuni berada pada ketinggian 3.700 mdpl atau setinggi puncak Gunung Semeru!
Keluar dari bandara, udara dingin langsung menggigit. Bernapas aja sampe mengeluarkan asap! Untuk menuju ke pusat kota harus naik taksi, tapi taksi yang tersedia cuma dua buah sehingga harus mengantre panjang menunggu taksi itu balik lagi ke bandara. Melihat ada pasangan bule cuman berdua, saya langsung berinisiatif ikutan taksinya dengan dalih bisa patungan jadi lebih murah.
Hotel saya di Uyuni terletak di lantai 4 tanpa lift! Dengan menggendong ransel, saya pelan-pelan naik tangga. Duh, dada saya rasanya seperti dipukul gada bertubi-tubi! Ah, ini dia ciri khas berada di ketinggian yang oksigennya tipis sehingga napas jadi megeh-megeh. Saya hanya menaruh ransel, lalu segera pergi.
Saya cuma punya waktu 4 hari, jadi malam itu juga saya harus cari travel agent yang akan membawa saya tur keliling Salar de Uyuni karena itu hanya satu-satunya cara untuk masuk. Namun sebelumnya saya harus makan dulu. Yang buka tinggal warung kecil di pasar dengan spanduk besar bertuliskan “Fast Foot” (bukan fast food)! Kalau dalam keadaan normal, saya pasti nggak pengen masuk ke restoran yang namanya salah eja, tapi ini keadaan darurat jadi saya hanya tertawa saja. Lumayan lah bisa makan nasi dan ayam panggang murah!
Karena sudah kemalaman, sialnya travel agent sudah pada tutup! Seorang ibu yang sedang menutup rolling door kantor menghampiri saya menawarkan paket tur 3 hari/2 malam menggunakan satu mobil 4WD. Pilihannya guide berbahasa Inggris atau berbahasa Spanyol yang bedanya sekitar 70 USD. Buset! Tentu saya pilih guide berbahasa Spanyol, selain jauh lebih hemat, saya cukup pede dengan Bahasa Spanyol saya.
Besok paginya saya dijemput si ibu, lalu ke kantor travel agent-nya sambil menunggu mobil. Ndelalah segrup tur isinya cewek semua! Selain saya, ada 2 cewek Prancis, 2 cewek Jerman, 1 cewek New Zealand. Supir sekaligus guide kami cowok Bolivia yang berusia 22 tahun. Mobilnya Land Rover merah, dan saya langsung duduk aja di depan kayak Madam. Setelah berkenalan satu sama lain, saya didaulat menjadi penyambung lidah antara grup dan guide karena bahasa Spanyol saya dianggap paling baik! Hehe!
Stop pertama kami ke train cemetary alias bangkai kereta api yang pada awal akhir abad ke-19 dipakai sebagai alat transportasi oleh para penambang, tapi pada 1940-an bangkrut sehingga terbengkalai. Stop kedua ke desa Colchani, untuk melihat museum garam sekalian makan siang. Tak jauh dari sana terdapat monumen Dakar Uyuni, pitstop rally mobil ekstrim di padang garam. “Habis ini tidak ada sinyal ponsel sampai 3 hari ke depan, ya!” kata guide mengingatkan. Saya jadi deg-degan!
Setelah itu barulah kami berkendara di padang garam Uyuni yang luasnya 10.000 km² atau seluas negara Lebanon! Aaaa… mata saya sampai basah karena bucket list akhirnya tercapai! Selama berjam-jam pemandangan yang terlihat hanyalah hamparan garam putih dan langit biru! Benar-benar spektakuler, seperti di planet lain! Kami sempat turun untuk foto-foto jumpalitan, dan membuat foto persepektif di mana objek yang lebih dekat ke kamera tampak lebih besar daripada objek yang lebih jauh. Saya meraup garamnya, ternyata butirannya besar-besar seperti kristal.
Dari situ ke Incahuasi, sebuah bukit yang ditumbuhi banyak kaktus raksasa sambil menikmati pemandangan dataran garam dari ketinggian. Malam harinya kami menginap di sebuah hotel garam. Iya, gedung hotel itu terbuat dari garam yang dikompresi! Lantainya aja ya tumpukan garam gitu, sampai saya nggak bisa nyeker karena garamnya menempel pada kaki.
Pagi-pagi setelah sarapan, kami mengunjungi Sora Canyon untuk melihat llama di habitatnya berupa rerumputan yang dialiri air sungai. Pemandangan berganti menjadi gurun, tidak ada lagi tanaman yang tumbuh karena berada di ketinggian lebih dari 4.000 mdpl. Kami melewati sejumlah gunung berapi yang sudah tidak aktif, formasi bebatuan besar berwarna merah, serta danau-danau cantik berisi ribuan burung flamingo yang dikelilingi pegunungan dengan puncak bersalju. Guide memasak makanan di bak mobil, dan kami pun piknik makan siang sambil ternganga-nganga melihat indahnya dunia!
Kepala saya mulai pusing ketika mobil lanjut naik sampai ketinggian 5.030 mdpl. Guide membagikan daun coca untuk dikunyah supaya nggak kena altitude sickness. Tibalah kami di Laguna Colorada. Inilah danau paling bagus yang pernah saya lihat: airnya didominasi warna merah, dengan berkas warna biru, hijau, putih dan dipenuhi burung flamingo! Sore harinya kami tiba di geyser Sol de Mañana untuk melihat kolam lumpur yang menggelegak dan semburan uap. Terakhir kami ke desa Polques untuk menginap. Desa ini suhunya 2°C , tidak ada listrik dan air. Bagaimana mandinya? Guide menunjuk ke bawah tebing: kolam pemandian air panas.
Biasanya orang berendam di sore hari, tapi grup kami berencana untuk berendam sehabis makan malam sambil berpesta. Grup bikin panitia; ada yang cari camilan, beli alkohol, dan pinjam speaker. Karena sudah malam, eh, pintu sudah ditutup! Saya mencari penjaganya yang ternyata seorang cowok ganteng yang lagi berendam di dalam kolam! Aih, langsung saya nyebur dan tempel! Lalu, kami semua berendam di kolam air panas sambil memandang jutaan bintang, ngobrol, minum wine, sambil dengar musik. Akhirnya saya berhasil meyakinkan menyogok si penjaga untuk menyediakan cimeng! Horeeee! Kami semua pun “terbang” sambil tertawa-tawa nggak karuan! Hahaha!
Saya bangun dengan kepala “berkonde” akibat hangover. Jam 6.30 pagi kami melanjutkan perjalanan melalui gurun Dali untuk melihat Laguna Verde, danau berair hijau yang terletak di kaki Gunung Licancabur. Tiba di perbatasan negara Chile, setengah dari grup kami berpisah karena mereka lanjut ke San Pedro de Atacama, sementara saya dan yang lain kembali ke Uyuni. Malam itu saya pun tertidur di bus selama 9 jam dari Uyuni ke La Paz.
Bila Anda menyukai tulisan perjalanan saya, silakan berkontribusi dengan menyumbang “uang jajan” di sini supaya saya semakin semangat menulis di blog yang berusia 19 tahun ini. Terima kasih!
5 Comments
Anonymous
June 16, 2024 8:37 pmBerasa di planet lain ya mbak. Cerita kali ini bikin takjub, pemandangan Salar de Uyuni benar-benar unik.
Trinity
June 18, 2024 10:20 pmbanget! aneh banget alamnya!
Anonymous
June 26, 2024 9:11 amAmerika tengah dan selatan, belahan dunia yang jauh dari kita dan banyak destinasi spektakuler, thanks mb T berkat buku2 TNTRTW jadi bisa tahu lebih dalam tentang tempat2 indah dan hal2 seru disana.
Trinity
July 10, 2024 11:54 amTerima kasih sudah membaca buku2ku! Tunggu buku barunya ya!
Anonymous
September 12, 2024 11:49 pmTernyata mereka memilih tour guide berbahasa Spanyol bukan karena pede dengan bahasa Spanyolnya.. hihihi
Leave a Reply