Mendengar nama Kosta Rika sepertinya negara itu sangat indah. Dalam Bahasa Spanyol, Costa Rica artinya “pesisir yang kaya”. Rica juga berarti “enak” dalam konteks makanan. Tayangan TV dan film Hollywood menggambarkan negara yang alamnya indah. Film Jurassic Park aja syutingnya di sana. Teman-teman bule yang sudah pernah ke sana mengatakan bagus dan murah! Apalagi slogan Kosta Rika adalah pura fida, yang artinya pure life (hidup yang murni). Wow banget kan? Maka tidak salah saya punya ekspektasi tinggi ketika berkunjung ke sana!
Pada Januari 2023, saya dan Yasmin masuk Kosta Rika dengan naik bus umum. Alamnya memang serba hijau sih, tapi mirip kayak di Jawa minus warung pinggir jalan. Mendekati kota Quepos, tau-tau kami diturunkan di pinggir jalan raya, padahal katanya akan diturunkan di terminal bus! Supir bus mengeluarkan koper, lalu menyuruh kami naik taksi yang sudah parkir di situ. Supir taksi (yang sudah bekerja sama dengan supir bus) menawarkan untuk mengantar dengan harga 25 USD. Hah? Saya langsung liat Google Maps; pusat kotanya hanya berjarak sekitar 6 km. Sial, getok harga dia! Di aplikasi Uber, harga hanya setengahnya, saya pun pesan. Tunggu punya tunggu, Uber malah santai muter jauh dan akhirnya dia batalkan.
Siang bolong panas gini jalanan sepi! Mau naik apa ini? Kata orang-orang yang lewat, ya harus tunggu taksi. Perlu diketahui, taksi di sini bisa mobil apa aja tanpa merek dan harus tawar-menawar. Akhirnya ada seorang bapak dengan mobil sedan butut berhenti. Setelah harga disepakati, kami diantar ke Airbnb. Pas bayar, si bapak minta tambah bayar dengan alasan, “Jalannya masuk gang!” Lha, apa-apaan ini? Kesan pertama di Kosta Rika langsung drop!
Baru juga pantat mendarat di kursi, host Airbnb langsung menagih uang sewa (di situsnya tidak bisa bayar kartu kredit secara online). Karena belum punya uang tunai dalam mata uang CRC, kami pasrah aja ketika dia menggetok kurs USD. Keluar cari makan, saya syok dengan harga-harganya! Sekali makan di restoran biasa per orang habis minimal 12,5 USD. Harga bahan makanan pun mahal, bahkan lebih mahal dari Panama yang GDP-nya lebih tinggi.
Tujuan kami ke Quepos karena ingin ke Parque Nacional Manuel Antonio yang katanya ada hutan dan pantai cakep, serta monyet capuchin. Saya pun membeli tiket online di situs resminya… yang ternyata hang! Berbekal bukti screenshot itu, besoknya kami langsung ke loket untuk membeli tiket. Namun petugas tidak terima alasan kami, “No ticket, no go!” lalu menyuruh kami membeli tiket di calo yang sudah berdiri di sebelah loket dengan harga dua kali lipat! Astaga, ini negara masih korupsi! Terang-terangan pula!
Di luar ternyata banyak calo menawarkan tiket, harganya pun gila-gilaan. Praktik yang sudah biasa rupanya. Kami memutuskan untuk tidak jadi ke Taman Nasional ini saking kesalnya. Untuk meredakan emosi, kami ngopi di sebuah kafe kecil yang nyempil di ujung jalan. Kami pesan es kopi susu yang tertulis di menu seharga 2.500 CRC (sekitar Rp 75 ribu). Eh, begitu bonnya datang, ditulis 3.000 CRC + tax + service charge! Tentu saya protes! Jawab masnya sambil terkekeh, “2.500 itu harga kopi biasa. Punyamu kopi luar biasa!” Huh, dasar tukang tipu!
Di ibu kotanya, San Jose, pengalamannya pun tidak menyenangkan. Meski hotel kami terletak di pusat kota dan pusat perbelanjaan, namun suasananya ngeri banget! Semua toko tutup jam 7 malam, langsung sepi dan gelap gulita. Waduh, ini pertanda lingkungannya tidak aman! Benar aja, di luar banyak homeless dan pengguna narkoba. Hiy! Kami sampai nggak berani keluar malam saking seramnya.
Ciri negara kacrut adalah ketika Google Maps tidak keluar saran transportasi umumnya. Bus sih ada banyak, tapi nggak jelas rutenya. Pernah suatu malam kami jalan bareng teman-teman Indonesia yang kuliah di sana; mereka pun setengah mati memecahkan masalah naik bus ke Escazu! Pertama, tanya-tanya orang lewat di mana bus berhenti, lalu jalan kaki di kegelapan pusat kota. Lalu bertanya rutenya lewat mana ke setiap supir yang busnya parkir. Setelah naik, busnya reyot dan ngebut gila! Akhirnya setiap hari kami jalan-jalan di San Jose ke tempat yang bisa jalan kaki atau kalau jauh, terpaksa naik Uber.
Mungkin ibu kota memang kurang bersahabat, maka kami pun browsing mau pindah ke La Fortuna atau Monteverde. Ternyata cari bus umum tetap sulit karena tidak ada informasi! Semua situs menyarankan untuk naik shuttle bus seharga 65 USD/orang! Belum di sananya harus bayar tur sekitar 80 USD/orang karena tidak ada transportasi umum. Tiket masuk ke air terjun aja 18 USD! Bhay! Melihat gambar tempatnya gitu doang; gunung, danau, hutan, air terjun… yang persis kayak di Indonesia, rasanya nggak worth it lah dengan harga segitu dibela-belain!
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami memutuskan untuk cabut aja dari Kosta Rika. Lagi-lagi karena tidak ada informasi, seharian kami terpaksa pergi ke tiga terminal bus antarkota untuk mencari tiket ke Peñas Blancas! Rupanya bus itu tergantung perusahaannya, jadi terminalnya bukannya terpusat tapi suka-suka dia di mana. Ini bagaikan pergi ke terminal Blok M, terus ke Rambutan, dan ternyata ada di Ciledug! Hadeuh, lelah hayati! Ternyata Kosta Rika tidak semaju yang saya kira.
Anyway, ini hanya sebagian pengalaman pribadi yang bikin saya kurang suka Kosta Rika. Atau memang ekspektasi saya yang ketinggian. Mungkin ini yang disebut terjadinya gentrifikasi. Karena banyaknya orang Amerika Serikat pindah ke Kosta Rika sehingga biaya hidup semakin mahal, sementara warga aslinya semakin terpinggirkan. Sedihnya, budaya aslinya menghilang, bahasanya tergantikan dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris, termasuk mata uangnya yang lebih sering menggunakan dolar Amerika daripada Colón.
Perjalanan keliling Amerika Tengah (#TNTamteng) ini atas biaya sendiri, tanpa sponsor sama sekali. Bila Anda menyukai tulisan perjalanan saya, silakan berkontribusi dengan menyumbang “uang jajan” di sini biar saya tambah semangat menulis. Terima kasih!
3 Comments
Mart
December 1, 2023 12:34 pmVery interesting… saya baru dengar di salah satu audio book, dan penduduk costa rica, menurut audio book ini, adalah salah satu negara paling bahagia di dunia. Mungkin bukunya udah ga update lagi, riset nya di awal tahun 2000. Mungkin gentrifikasi itu bener, kalo makan sampe USD12.5 itu mahal bener buat lokal saya rasa
Trinity
December 5, 2023 9:32 pmExactly! Kasian warganya 🙁
Iqbal
February 12, 2024 7:23 pmTerima kasih ceritanya. Saya suka membaca cerita pengalaman traveling ke negara-negara yang tidak mainstream — yang mainstream misalnya Jepang, Singapura, Korea, dll. Apalagi masa kecil dulu suka baca Buku Pintar yang di dalamnya ada info negara-negara di dunia.
Leave a Reply