Author page: Trinity

Travel

Gaul sama orang Aborigin

Tiwi ladies

Orang lokal, terutama suku terasing/pedalaman, selalu bikin saya tertarik. Setelah hidup lama di kota metropolitan, saya selalu pengen tau seperti apa kehidupan manusia yang masih kental memegang tradisi budaya sejak ribuan tahun lalu yang kadang tidak terpengaruh pada peradaban zaman. Salah satunya adalah orang Aborigin yang merupakan penduduk asli Australia (disebut Indigenous Australians). Meski jumlah mereka 2,7% dari 22 juta total populasi Australia, tapi kelihatannya mereka kurang berbaur dan kurang ngetop. Satu-satunya orang Aborigin yang saya tahu adalah Cathy Freeman, pemegang medali emas Olimpiade tahun 2000 untuk lari 400 meter.

Perkenalan saya dengan budaya Aborigin dimulai tahun 2000 saat ke Tjapukai Aboriginal Culture Park di Cairns, tapi sungguh tidak berkesan karena saya hanya menonton film dan lihat koleksi museumnya. Baru-baru ini saya ke Darwin naik Air Asia dari Bali dan menyempatkan diri ke Museum & Art Gallery Northern Territory. Ternyata Aborigin itu banyak banget sukunya. Ada 300-an jumlahnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Saya juga baru tahu bahwa boomerang itu hanya dipakai oleh orang Aborigin yang tinggal di padang gurun. Dari situlah saya pengen mengunjungi salah satu suku Aborigin yang disebut Tiwi di Tiwi Islands Aboriginal Reserve. Sekalian biar nambah rekor pribadi ke tempat yang termasuk 1000 places to see before you die-nya buku Patricia Schultz. Uhuy!

continue reading

Travel

Buaya Darwin

Pemandangan kota dari Holiday Inn Darwin

Gara-gara Air Asia buka rute baru direct flight Denpasar-Darwin dan dapet harga promo Rp 1,3 juta + pp (ini ke Australia lho!), saya langsung cabut! Sebenarnya dulu saya sudah pernah ke Australia, tapi hanya ke daerah Timur (Melbourne sampai Cairns). Nggak kebayang saya akan ke Utara, tepatnya ke Darwin, secara tempat itu sepertinya nggak ngetop dan nggak ada apa-apanya. Tapi, saya kan demennya ke tempat yang nggak biasa. Malah saya sengaja nggak rajin riset sebelum berangkat supaya surprise akan apa yang akan terjadi.

Nama Darwin sendiri berasal dari ilmuwan teori evolusi Charles Darwin yang pernah ke sana tahun 1836. Darwin adalah ibukota propinsi Northern Territory yang terletak di di Laut Timor, jadi dari Bali cuman terbang 2,5 jam. Karena lokasinya paling dekat dengan Asia, maka penduduknya pun multi-kultural. Cuaca di sana pun mirip banget kayak di Indonesia, cuman ada musim hujan (September-April) dan musim panas (Mei-Oktober) dengan tingkat kelembaban yang tinggi alias gampang bikin kemringet.

continue reading

Travel

Browsing before traveling

Jalan-jalan lagi nge-hit banget saat ini. Orang semakin mudah untuk melakukan perjalanan mandiri alias tanpa ikut paket tur dari agen perjalanan. Tapi sepertinya jalan sendiri malah bikin senewen. Belum juga berangkat, udah pada panik. Padahal “resiko” perjalanan mandiri adalah mencari tahu segala informasinya sendiri, apalagi maunya yang murah. Meski buku travel udah banyak tersedia (contohnya buku-buku travel terbitan Bentang Pustaka) dan akses internet udah mudah didapat – tapi entah karena budaya orang Indonesia atau bukan – tetap kurang afdol kalau nggak tanya. Saya bisa bilang begini karena setiap hari saya menerima puluhan pertanyaan via email, Facebook, dan Twitter. Padahal semua pertanyaan itu bisa dijawab asal rajin browsing di internet. Nah, kalo udah bisa menghubungi saya via email atau social media, berarti mereka punya punya akses internet bukan? If I can, why can’t you?

Saya paling sebel dengan pertanyaan generik seperti, “Besok aq mau ke Bali niy, di sana enaknya ngapain ya?”. Atau “Di Singapur nginep yang murah di mana ya?”. Dan pertanyaan itu setiap hari pasti ada! Udah gitu, kalo nggak dijawab bisa-bisanya saya dimarahin. Duh, saya yakin kalau pun saya bikin buku travel guide macam Lonely Planet yang super lengkap, pastiii masih ada yang nanya. Saya setuju bahwa tidak ada pertanyaan yang buruk, tapi silly question deserves silly answer. Kalau saya tidak menemukan informasinya di internet (terutama ke daerah yang tidak ngetop), saya pun tanya-tanya forum, milis, teman, penginapan, dll, tapi itu setelah saya usaha mencari.

continue reading

Anthology Posts

Titip-menitip vs oleh-oleh

by Ms. Complaint

Kalau lagi traveling yang menjadi beban bukannya baju winter atau koper, tapi titipan dan oleh-oleh. Para sahabat sudah maklum kalau saya adalah light traveler, jadi kalau ingin menitip harus tahu ukuran dan berat. Secara, kalau bepergian saya hanya membawa satu koper kabin yang berisi laptop, gadget dan barang ogah hilang lainnya seperti alat makeup, beberapa pakaian cadangan dan celana dalam kertas sekali pakai buang, plus satu checked-in koper berukuran medium yang cukup buat beberapa baju, sepatu, peralatan mandi, dengan ruang kecil tersisa buat oleh-oleh teman yang akan dikunjungi. Jarang koper saya beranak, kalau terpaksa barulah saya keluarkan tas lipatan Longchamp andalan, praktis, tipis dan manis buat tentengan darurat. Sudah kapok overweight, titipan tidak seberapa dibandingkan harga kelebihan bagasi. Kelebihan bagasi di luar negeri bisa sampai US$125 per koper dan domestik Rp.100.000 per kilogram.

Saya pernah dititipin gitar, sepeda dan bola bowling, kontan saya protes, katanya sih bercanda, tapi saya yakin mereka serius. Titipan baju, kebaya dan batik sudah sering, tiga pasang sepatu pernah, tas pesta dan coklat apalagi, sampai makanan basah juga kering bolak balik menjadi titipan langganan. Malah pernah, saya dititipkan sekoper penuh barang titipan, untungnya biaya dan jemputan ditanggung beres. Paling deg-degan waktu membawa cincin kawin berlian 2 karat titipan teman dari Belgia, karena takut hilang saya pakai saja cincin ber-style Tiffanny itu, sekalian gaya.

continue reading

Anthology Posts

Jadi monster pas berhaji

by Nurul Rahmawati*

Nurul (paling kiri) di bus bersama teman2 sekamar

Nggak banyak orang Indonesia yang berangkat haji di usia muda. Padahal, haji adalah totally Ibadah Fisik banget! Bayangin aja, selama Haji, kita kudu ngelakoni Thowaf (muterin bangunan Ka’bah selama 7 putaran), plus sa’i (jalan cepat antara bukit Shofa dan Marwah) juga selama 7 kali.

Bangunan Masjidil Haram yang luas banget itu, juga kudu ditempuh dengan berjalan kaki. Kebayang kalo yang harus ngejabanin itu semua adalah nenek-nenek berusia 70-an tahun, lumayan bikin encok rematik jadi kumat bukan? Syukurlah, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berhaji di usia yang masih lumayan “pagi”: 29 tahun. Walaupun bobot bodi saya lumayan bikin ngos-ngosan—berat saya 69 kg dengan tinggi badan 155 cm, tapi, saya kan masih muda banget jadi saya optimis dan super-pede dengan perjalanan Haji pertama saya ini.

Ternyata, di Mekkah, saya kudu nginep di maktab (penginapan) di kawasan Syisya yang berjarak sekitar 6 kilo dari Masjidil Haram. Untungnya, gara-gara lokasi yang cukup jauh, saya dapat cash back dari pemerintah RI senilai 700 reyal. Selain itu, untuk menjangkau Masjidil Haram cukup naik bus Saptco 2 kali, dengan rute: Syisya-Terminal Mahbaz Jin, lalu ganti bus lagi, dengan jurusan Terminal Mahbaz Jin-Masjidil Haram. Busnya gratis pula. Jadi, pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah armada bus dengan rute yang disesuaikan berdasarkan lokasi maktab. Karena maktab saya bernomor 203, maka saya kudu naik bus nomor 2, jurusan Syisya. Nah, di Syisya itu bercokollah ribuan umat manusia yang juga pengin naik bus gratisan dengan destinasi yang sama: Masjidil Haram. Namanya aja bus gratisan, butuh perjuangan ekstra untuk bisa nangkring manis di dalam bus, baik dalam perjalanan dari maktab ke Masjidil Haram, maupun sebaliknya.

continue reading