Mau lebih borju lagi, saya makan di restoran yang menyediakan menu all you can eat. Lebih mahal memang, tapi jauh lebih kenyang. Supaya tidak rugi, kosongkanlah perut sekosong mungkin dan makanlah dengan santai, sedangkan modal lainnya adalah nekat. Di Helsinki (Finlandia) dimana merupakan salah satu kota dan negara termahal di dunia, saya pernah makan di restoran Cina all you can eat seharga 8 Euro. Saya makan mulai dari nasi, gorengan, aneka lauk pauk dan sayuran, termasuk softdrink dan kopi. Istirahat sebentar, merokok, mulai lagi makan dari awal, begitu seterusnya, sampai sempat-sempatnya saya buang air besar dulu, lalu makan dari awal lagi. Hehe! Atau makan model seperti di Auckland (New Zealand), di restoran Thailand bersistem all you can take seharga 6,50 NZ$ dimana kita boleh mengambil apapun makanannya asal masuk ke dalam kotak styrofoam yang disediakan. Dasar saya ogah rugi, makanan pun saya penyet-penyet dan susun sedemikian rupa sampai styrofoam bentuknya bukan kotak lagi tapi bundar dan saya dipelototi si ‘Mbaknya’.
Sesekali saya sih makan ‘bener’ di restoran yang ‘bener’ artinya makan full course meal di restoran fine dining. Biasanya itu terjadi di hari-hari terakhir liburan saya dimana saya sudah capek berhitung dan berhemat. Itu pun seringnya saya ‘ngeracunin’ teman sekamar di hostel untuk patungan dengan alasan, “It’s our last night here, we have to spend it nicely. So let’s have dinner together in a fine restaurant with a real good local food.” Trik saya selalu berhasil asal pintar memilih orang yang akan diajak makan, carilah teman yang sama-sama tinggal hari terakhir dan kelihatan tidak kere-kere banget. Sebagian besar saya berhasil menggeret orang Jepang, resikonya siap-siap kesusahan ngobrol saat makan karena bahasa Inggris mereka yang kacau. Sekedar catatan, di restoran ‘bener’, harga sebotol air putih dengan segelas bir atau wine kurang lebih sama saja. Jadi, jangan mau rugi! Atau kalau mau lebih hemat dan nekat, pesan saja tap water alias air kran.
Dalam rangka penghematan, saya biasa makan jam 11 untuk sekalian makan pagi dan siang, malamnya makan jam biasa tergantung laparnya perut. Susahnya bila sedang berada di kota kecil di Italia atau Spanyol dimana jam buka restoran minimal jam 8 malam karena mereka biasa makan jam 9. Suatu hari sehabis lelah jalan di desa-desa di bukit Cinque Terre, pernah saya hampir mau pingsan di kota Marina di Masa (Italia), karena jam 7 tidak ada restoran yang buka dan tidak ada tukang jualan. Sial! Di beberapa tempat juga kadang diberlakukan jam buka 11.00 – 15.00 dan 18.00 – 21.00. Saya beberapa kali kecele, salah satunya di kota Noosa (Australia). Waktu itu saya dan seorang teman yang sama-sama kelaparan dan ingin makan nasi jam 4 sore, sibuk membaca menu yang dipajang 20 meter di depan salah satu restoran Thailand yang terletak di atas bukit. Setelah lebih dari 15 menit pilah-pilih, hitang-hitung, ngotat-ngotot (karena lagi-lagi masalah budget yang terbatas), berjalanlah kami dengan girang masuk ke restoran tersebut, lalu… waiter mengatakan, “Sorry, closed,” sambil menunjuk sign di jendela yang menunjuk jam operasional. Dasar nasib, hari itu lagi-lagi kami makan fish & chips pinggir jalan yang dibungkus kertas koran.
Ada pengalaman saya yang sangat memalukan sekaligus lucu. Di Dallas (AS), saya ngiler banget pengen makan makanan Jepang di restoran. Saya baca promosinya dari luar bahwa bila seseorang berulang tahun akan mendapat voucher diskon 10 US$ yang dapat digunakan hari berikutnya. Makanlah saya di sana, dan terakhir saya mengaku (eh berbohong) kalau saya hari itu berulang tahun – untung mereka tidak minta ID. Tak berapa lama kemudian, saya didatangi seluruh waiters sambil dinyanyikan Happy Birthday, dikalungkan bunga plastik, diberikan ice cake kecil, tiup lilin dan difoto pake Polaroid plus diberikan voucher mujarab. Wah, malunya! Saya lalu bilang, “I don’t live here and I’m leaving tomorrow early in the morning to my country so I can’t use this voucher. Can I use it now?”… dan berhasil!
Jujur saja, setiap pulang backpacking dari negara barat, saya pasti bersumpah untuk tidak makan roti dan sejenisnya sampai 6 bulan ke depan. Sumpah, eneg banget! Memang benar kata pepatah ‘lebih baik hujan batu di negri sendiri daripada hujan emas di negri orang’. Mau makan tinggal panggil tukang jualan yang sering lewat di depan rumah, kelaparan di tengah malam tinggal lari ke warung dan beli mie kuah. Murah pula!
Yah, begitulah nasib backpacker. Emang enak?
1 Comment
Marthajatmiko
March 7, 2013 7:57 amEmber, cuman 1 minggu gak do Indonesia….kangen makanannya
Leave a Reply