Semua gara-gara sebuah buku yang dikasih tante saya. Judulnya Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire karya Herald van der Linde, penulis Belanda. Setelah membacanya, kami napak tilas ke candi-candi peninggalan Majapahit di Jawa Timur pada akhir April 2025. Karena ini bukan wisata biasa, saya pun menyewa jasa Yoga—pemandu yang isi otaknya kayak Wikipedia, terutama soal sejarah Asia Tenggara.
Majapahit bukan sekadar kerajaan kuno yang namanya ada di buku pelajaran. Ini kerajaan yang benar-benar besar, bahkan pernah mengalahkan pasukan Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Tiongkok) pada 1293, sekaligus jadi tahun berdirinya Majapahit oleh Raden Wijaya. Puncak kejayaannya ada di masa Hayam Wuruk dan mahapatih Gajah Mada yang bikin Sumpah Palapa—janji untuk menyatukan Nusantara. Dari sanalah kekuasaan Majapahit meluas dari Sumatra sampai Papua, bahkan sampai semenanjung Malaya dan sebagian Filipina.

Sisa-sisa kejayaan itu masih bisa dilihat di Jawa Timur, terutama di Trowulan, Mojokerto, yang diyakini sebagai ibu kota Majapahit zaman dulu. Yang paling ikonik adalah Candi Bajang Ratu—gapura megah bergaya Paduraksa (gapura beratap) dari abad ke-14 yang dibangun untuk memperingati Jayanegara, raja kedua Majapahit. Pintu di sisi lainnya adalah Candi Wringin Lawang. Namanya berarti “pintu beringin” berbentuk gapura bentar setinggi 15,5 meter—salah satu gapura tertinggi dari era Majapahit. Keduanya memiliki ukiran halus dan presisi, menunjukkan betapa canggihnya arsitektur masa itu.
Tak jauh dari situ ada Candi Tikus. Namanya terdengar lucu, tapi ini sebenarnya petirtaan alias kolam pemandian suci yang terbenam di tanah. Dulu dipakai untuk ritual pembersihan diri oleh keluarga kerajaan. Ada juga Candi Brahu, yang diduga tempat kremasi raja-raja Majapahit, serta Kolam Segaran, kolam buatan seluas 4.000 meter persegi yang dipakai untuk jamuan tamu agung.

Di seberangnya ada Museum Trowulan yang menyimpan ratusan artefak: arca perunggu, patung Buddha, keramik impor dari Tiongkok dan Timur Tengah—semua bukti bahwa Majapahit terhubung dengan dunia internasional lewat jalur dagang.
Trowulan kini sudah direvitalisasi jadi Kawasan Permukiman Majapahit. Rumah-rumah penduduk dibangun dengan gaya arsitektur bata merah ekspos, desain yang terinspirasi dari zaman dulu. Saya suka banget melihat bagaimana sejarah tidak hanya dilestarikan, tapi juga dihidupkan kembali oleh pemerintah setempat.
Keluar dari Mojokerto, kami ke Blitar di mana ada Candi Penataran—kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur. Nama aslinya Pallah sebagai candi pendharmaan untuk Ken Arok. Dibangun sejak Kerajaan Kadhiri pada abad ke-12, candi ini dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan Mpu Prapanca. Kompleksnya luas dan reliefnya kaya cerita.

Masih di Blitar, Candi Simping berdiri sebagai tempat pendharmaan Raden Wijaya. Hayam Wuruk konon beberapa kali datang ziarah ke sini. Ada juga Candi Sawentar, yang disebut “Lwang Wentar” dalam Negarakretagama—tempat peristirahatan raja yang sepi. Tak jauh, ada Candi Sanggrahan. Denahnya berbentuk bujur sangkar dengan relief yang masih utuh. Ada dugaan ini tempat transit abu kremasi kerajaan.
Di Malang, kami mengunjungi Candi Kidal yang dibangun untuk Raja Anusapati, dengan relief kisah Garudeya, dan Candi Jago yang didedikasikan untuk Wisnuwardhana, dihiasi relief kisah Tantri dan Kunjarakarna seperti komik batu zaman kuno. Di Karangkates, ada Arca Ganesha langka—bukan duduk seperti biasanya, tapi berdiri.
Tak jauh dari sana, berdirilah Candi Singasari—tempat pendharmaan Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari yang gugur saat pemberontakan Jayakatwang. Candi ini unik karena bergaya campuran Hindu-Buddha, mencerminkan sinkretisme kepercayaan pada masa itu. Di depannya, dua Arca Dwarapala berukuran hampir 4 meter berdiri menjaga gerbang kerajaan.
Di Tulungagung, ada Candi Gayatri untuk menghormati Rajapatni Dyah Gayatri—neneknya Hayam Wuruk. Diarcakan sebagai Dewi Prajnaparamita, kini tersimpan di Museum Nasional. Candi Mirigambar juga menarik, menghadirkan kisah cinta Panji Inu Kertajati yang populer sampai ke Thailand dan Kamboja.
Di Sidoarjo, ada Candi Pari—atapnya mirip gaya arsitektur Champa di Vietnam. 50 meter dari situ ada Candi Sumur dipercaya sebagai tempat spiritual. Di Pasuruan, perjalanan kami ditutup di Candi Jawi, tempat abu Raja Kertanegara disemayamkan sebagian, sisanya di Candi Singasari.

Masih banyak candi lain yang tersebar di sepanjang jalur ini: Candi Bangkal, Gununggangsir, hingga Jedong. Tak semua besar atau megah, tapi masing-masing punya cerita yang menjembatani satu kerajaan ke kerajaan berikutnya—dari Kadhiri ke Singasari, berpuncak di Majapahit.
Yang bikin perjalanan ini istimewa sekaligus miris adalah kenyataan bahwa semua candi itu tersebar di mana-mana—di tengah pemukiman padat, di ujung sawah, atau nyempil di gang. Sebagian kurang terawat, terkena vandalisme, bahkan terkunci sampai harus cari si juru kunci yang entah ke mana. Sedihnya, salah satu penjaga candi bahkan bilang bahwa dia kesulitan merawat situs karena warga sekitar menganggapnya tempat musyrik.
Dari situ saya sadar: betapa pentingnya kita kenal dan peduli dengan sejarah sendiri. Sayang banget kalau warisan sehebat ini cuma dibiarin begitu aja. Buat saya, napak tilas Majapahit di Jawa Timur bukan cuma jalan-jalan lihat batu tua, tapi pengingat bahwa Indonesia punya peradaban keren yang tidak kalah dari luar negeri. Jadi, kalau bingung liburan ke mana, coba deh mampir ke situs-situs ini. Selain bisa foto-foto kece, siapa tahu pulangnya jadi lebih bangga sama sejarah sendiri.
Perjalanan ini atas biaya sendiri. Bila Anda suka dengan tulisan perjalanan saya di blog yang berusia 20 tahun ini, silakan menyumbangkan uang jajan. Terima kasih.
2 Comments
Anonymous
May 2, 2025 4:47 pmSuatu kebanggaan bagi saya bisa menghandle Trip Kak Trinity Traveler yang kedua kalinya setelah Yogyakarta pada tahun 2019 silam. Petualangan bersama Kak Trinity adalah petualangan terbaik selama Januari – April tahun ini. Saya doakan Kak Trinity sukses selalu.
Trinity
May 2, 2025 4:49 pmTerima kasih, Yoga, guide andalanku!
Leave a Reply