Karya: Tanti* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Sebenarnya saya enggan cari pacar lewat internet. Tapi akhirnya saya instal aplikasi kencan bernama Tinder gara-gara sobat saya terus mengompori dengan menceritakan kencan-kencannya yang seru bersama cowok-cowok yang dikenalnya di dunia maya. Saya pun matched dengan beberapa, dua di antaranya berujung kopdar, tapi langsung bikin ilfil! Yang pertama terus bermonolog membosankan, sementara yang kedua malah menipu dengan memasang foto profil yang mungkin diambil sekitar dua puluh tahun sebelumnya.
Tinder pun saya campakkan, sampai saya diundang menghadiri pernikahan seorang sahabat dari Italia. Tebak di mana dia dan istrinya berkenalan untuk kali pertama? Ya, Tinder! Menyaksikan serunya pesta mereka, saya pun mengakui bahwa perjodohan virtual ternyata bisa juga berakhir bahagia.
Nah, jadilah saya tergoda lagi. Iseng saja selagi liburan di Eropa. Kota pertama yang saya datangi setelah kondangan adalah Perugia, tempat saya dulu belajar bahasa Italia. Mungkin karena dianggap eksotis, di sini saya malah lebih laku. Semua cowok yang saya geser kanan ternyata langsung match! Karena tidak mungkin melayani semua chat, saya seleksi lewat deskripsi diri panjang yang diakhiri suruhan untuk menyapa dengan sandi ‘Ciao, Bella!’ dan ancaman bahwa sapaan selain itu akan langsung di-unmatch. Malas ‘kan ketemuan sama cowok yang cuma peduli rupa tapi malas baca. Ampuh juga lho, setengahnya langsung gugur!
Saya putuskan untuk kopdar hanya dengan Filippo yang paling nyambung. Kami janjian ketemu keesokan harinya setelah dia selesai crossfit. Saya sendiri sudah ada janji makan malam dengan Mbak Marmi, orang Indonesia yang bermukim di sana, yang lalu saya paksa untuk menemani ke tempat janjian di depan Fontana Maggiore.
“Sebentar aja, Mbak,” rajuk saya. “Untuk pastiin wajahnya betul ganteng dan suaranya tidak cempreng kayak Chipmunk!”
Akhirnya Mbak Marmi luluh. Kami sepakat jika orangnya ternyata aneh, dia akan langsung pura-pura sakit perut dan saya akan maksa untuk mengantarnya pulang. Tetapi jika Filippo ganteng dan normal selama lima belas menit pertama, Mbak Marmi akan pamit pulang duluan dengan alasan hendak meninabobokan anaknya.
Filippo ternyata lebih keren dari fotonya. Dia mentraktir kami minum spritz sambil menemaninya makan di sebuah kafe.
“Jadi, kapan nih kita nikah?” candanya, begitu Mbak Marmi sudah pergi.
Duh, seandainya saja itu bukan guyonan! Kami asyik mengobrol sampai kafe tutup, lalu dia mengusulkan kami pergi ke rumahnya di Assisi. Waktu saya tolak, dia tampak kecewa. Untung dia masih berbaik hati mengantar berjalan kaki hingga ke depan apartemen tempat saya tinggal, namun tidak saya ajak masuk. Lagi-lagi dia tampak kecewa. Seperti yang sudah saya duga, besoknya dia ghosting! Padahal kami sempat janjian akan ketemuan lagi selama saya masih ada di Perugia.
Meski ilfil dengan pengalaman itu, di Milan jari saya gatal lagi ingin geser-geser, apalagi melihat cowok-cowok keren bertebaran di seluruh penjuru kota. Ketemulah saya sama Edoardo, seorang air traffic controller. Malas jalan kaki ke stasiun Metro pakai sepatu bot dan mantel tebal, saya iyakan saja saat dia menawarkan untuk menjemput ke depan apartemen tempat saya menginap. Mobilnya ternyata Mercedez Benz keluaran terbaru, dengan atap convertible dan kursi yang bisa menghangat otomatis di udara dingin.
Dipikir-pikir nekat juga sih, tapi mengingat pesan-pesannya santun dan dia mengajak ketemuan di siang bolong, saya percaya dia tidak akan macam-macam. Dan ternyata, selain tajir dan keren, bahasa Inggrisnya sempurna, tanpa aksen sama sekali. Tampaknya dia pun bangga dengan hal itu, sampai-sampai saat dia menerjemahkan menu, saya tak tega memberitahunya bahwa saya sebenarnya bisa bahasa Italia.
Percakapan kami mengalir lancar sampai dia harus pergi kerja ke bandara sekitar dua jam kemudian. Katanya, jadwal kerjanya yang aneh (dari sore hingga dini hari) membuat dia kesulitan bertemu orang dan menjalin hubungan, karena itulah dia memasang Tinder. Dia mengantar saya kembali pulang dan mengecup kedua pipi saya dengan sopan saat berpamitan.
Saat menaiki bus menuju Austria keesokan subuhnya, saya agak menyesal tidak lebih lama di Milan saja, siapa tahu kisah kami bisa berlanjut, mengingat kencan saya dengan Edoardo bisa dibilang yang terbaik dibanding pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Terinspirasi dari pengalaman positif itu, di Wina saya coba-coba lagi. Bagaikan takdir, lagi-lagi saya ‘berjodoh’ dengan pemuda Italia. Namanya Antonio, seorang pekerja magang di kantor PBB. Kelakar-kelakar hangatnya amat menghibur di tengah dinginnya cuaca. Demi kopdar sama dia, saya bahkan rela ditinggal Mila, teman traveling saya untuk jalan-jalan ke Bratislava.
Kami janjian ketemu di McD sebelah Airbnb saya. Tunggu punya tunggu, dia tak pernah muncul alias raib begitu saja! Dengan geram saya pun unmatch dia, meski sempat terbersit dugaan dia tiba-tiba kecelakaan atau mati mendadak.
Skenario nahas itu menguap sehari setelahnya, saat Mila memperlihatkan ponselnya di perjalanan menuju bandara. “Lucu juga nih,” kekehnya sambil menatap tangkapannya. “Sayang kita udah mau pulang!”
Mata saya langsung melotot. Itu kan si Antonio! Rupanya dia masih hidup dan sempat-sempatnya mencari mangsa baru! “Kurang ajar!” gerutu saya. “Lelaki macam gitu harus dikasih pelajaran!”
Ide jahil pun mampir di kepala. Saya ingat si Antonio tinggal di wilayah yang jauh dari area bandara. Saya catat hotel yang baru saja kami lewati, sambil membuat profil baru dengan foto-foto palsu, dan mempersempit pencarian lewat rentang umurnya. Begitu dia tertangkap, langsung saya superlike supaya dia ngeh ada cewek seksi yang ngebet ingin kenalan.
Saya bersandiwara jadi musisi muda Hongkong yang hendak mengadu nasib di kota itu, dan menawarinya untuk minum-minum di bar hotel tempat ‘saya’ menginap. Cowok itu langsung setuju ketemuan malam itu juga, sambil wanti-wanti supaya saya pakai gaun hitam yang seksi (idih!). Seru juga ternyata ngibul virtual daripada bengong menanti jam penerbangan pulang. Dengan rayuan-rayuan nakal, saya berharap kali ini dia tidak akan mangkir lagi.
Beberapa menit sebelum jam delapan, dia memberitahu bahwa dia sudah menunggu di bar. Saya bilang masih dandan dan sebentar lagi akan turun. Setiap dia tanya, saya selalu cari-cari sejuta alasan. Sampai akhirnya dia marah-marah karena sadar sudah tertipu begitu resepsionis yang ditanyainya mengkonfirmasi tidak ada tamu dengan nama (samaran) saya.
Mila ngakak membaca pesan nyolot cowok itu, sementara saya mengklik tombol unmatch sambil tersenyum puas.
*Tanti adalah seorang penerjemah dan pengajar Bahasa Italia yang hobi jalan-jalan, membaca buku, dan bercita-cita bisa menjadi penulis betulan dan traveler yang lebih bernyali seperti Mbak Trinity. Ocehan-ocehan tentang perjalanannya sebelum pandemi bisa dibaca di tantitaliana.wordpress.com.
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 29 Oktober 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.
4 Comments
Luna
December 31, 2021 3:34 pmCowok macam itu memang harus dikasih pelajaran. Mantap!
Anonymous
March 5, 2022 2:04 pmHahah kasian bgt si Antonio???
tatan suhardi
May 15, 2022 6:09 pmterlalu sekali, tidak bisa mengerti perasaan wanita
Anonymous
June 6, 2022 9:33 ampuas banget baca scene terakhir wkwkw
Leave a Reply