Ketemu Banyak “Dewa Penolong” di Ko Samui

by Mayawati Nurhalim*

Nyasar di negeri orang, di daerah yang sama sekali asing, menjelang malam hari pula, pasti bukan hal yang diharapkan oleh siapa pun. Tapi itulah yang kami alami di Maenam, Ko Samui, Thailand, Desember 2007. Kami diturunkan oleh supir songthaew (angkot) di depan salah satu jalan kecil, yang katanya menuju Coco House Samui, guest house yang sudah kami buking. Dengan yakinnya kami pun menyusuri jalan gelap tak beraspal itu. Cari-mencari, nah lho bingung, mana Coco House-nya ya? Peta yang saya download sama sekali nggak jelas. Duuuh, mana perut udah keruyukan karena tadi siang dalam perjalanan panjang dengan bus plus ferry dari Krabi kami cuma ngemil. Karena melihat tampang bingung kami, seorang lelaki muda yang lagi nongkrong di depan rumahnya menghampiri. Langsung saya tanya sambil menunjukkan peta. Ternyata dia mengernyitkan dahi. Sama bingungnya! Lalu dia memanggil temannya. Hasilnya sama, tidak tahu juga. Alamak, begini nih kalau buking guest house murah antah berantah. Karena tak yakin di mana letak penginapan kami, mereka pun memutuskan mengantar kami dengan motor. Akhirnya dalam waktu singkat, ketemu juga tuh penginapan. Rupanya nama penginapan itu Pinky House, bukan Coco House. Pantas saja!

Ternyata masalah tidak langsung tuntas. Ruang resepsionis yang berupa bangunan terpisah dari bungalow-bungalownya terkunci dan gelap, padahal baru jam 7 malam. Kedua orang itu berinisiatif membantu menelepon nomor telepon yang tertera di dinding kaca ruang resepsionis. Tapi hasilnya nihil, telepon tak diangkat, begitu pula HP-nya. Karena tidak enak hati nyusahin mulu, akhirnya saya persilakan mereka pulang dan kami memutuskan menunggu. Mereka sebenarnya masih cemas, tapi saya meyakinkan tidak apa-apa. Akhirnya salah satu dari mereka yang bernama Ton menawarkan, jika ruang resepsionis masih juga tak ada tanda kehidupan, silakan ke rumah mereka aja. Tunggu punya tunggu, si petugas penginapan tak juga muncul. Saya menelepon Asia Web Direct, situs tempat saya memesan penginapan ini, juga tak diangkat. Hari makin malam. Wah, kacau nih. Karena perut makin meronta, kami cari makan dulu. Dengan ransel berat digembol kami jalan kaki ke arah jalan raya, yang ternyata cuma sekitar 200 m (bukan lewat gang yang ditunjukkan supir songthaew tadi!). Tapi tidak ada rumah makan atau warung satu pun yang kelihatan. Ya ampun…penderitaan apa lagi ini? Saya dan kakak yang sama-sama sudah kusut-masai, lewat tatapan mata sepakat: balik ke rumah Ton!

Untunglah sampai di rumah Ton, kami disambut tak hanya oleh Ton dan Tam (nama pria yang satunya lagi), tapi juga oleh istri dan anak-anaknya. Disuguhi air mineral dingin pula. Tau aja kami nyaris dehidrasi. Segerrr! Habis itu, kami pun minta tolong dicarikan guest house buat malam ini saja. Ton dan Tam kembali mengantar kami dengan motor ke sebuah penginapan sederhana (mirip kos-kosan di Depok) bernama Di Phi House, tidak jauh dari Coco House. Kondisi kamarnya bersih, AC, TV, kamar mandi di dalam, harga THB 500. Oke lah, tidak mahal untuk ukuran peak season. Berkat bantuan “dewa penolong” ini, kami tidak jadi keleleran di jalan deh.

Esok paginya, kami mendatangi Coco House lagi. Kali ini petugasnya ada, yang ternyata seorang kakek-kakek. Hampir saya mau marah-marah, tapi takut kuwalat sama orang tua. Di tengah gerimis, kami pindahan, karena kami sudah buking Coco House untuk 3 malam. Lalu kami berniat mencari agen travel untuk one day tour keliling Samui. Tapi gara-gara bangun kesiangan plus harus pindahan, semua tur sudah berangkat. Eeh… ada “dewa” eh “dewi penolong” lagi: si cewek petugas agen travel. Dia ngasih tahu, sebenernya ngiterin Samui tanpa ikut tur gampang banget dan jauh lebih murah. “Kalian juga bebas mau berlama-lama di tempat yang kalian suka. Nggak kayak ikut tur yang digiring-giring melulu,” katanya. Dia lantas membuka peta dan mengajari kami bagaimana cara keliling Samui sendiri. Setelah yakin kami memahami petunjuknya, dia pun membantu menyetopkan songthaew sambil ngasih tahu berapa harga wajar ongkosnya. Ajaib juga, ada orang travel yang malah menganjurkan tidak ikut tur. Padahal dia bisa saja membujuk kami ikut private tour atau sewa mobil yang pasti mahal dan menguntungkan buat dia. Bahkan ketika saya bilang mau menyewa mobil dari dia, malah ditolak karena supirnya tidak bisa Bahasa Inggris sehingga takut malah menyusahkan kami. Baik bener ya?

Dewa lainnya muncul saat kami kebingungan di Chaweng. Dia tukang jualan di kios pinggir jalan. Tampangnya sih mirip supir taksi India di Kuala Lumpur yang pernah nipu saya dengan argo borongannya yang nggak kira-kira. Tapi baiknya minta ampun! Awalnya kami nanya, naik songthaew ke Lamai itu ke arah mana. Eh dia bukan cuma menunjukkan arah, tapi juga mencarikan songthaew. Laksana putri raja, kami dicarikan kursi plastik dan disuruh duduk, sementara dia meninggalkan kiosnya untuk mencari songthaew dan membantu menawar supaya dapat ongkos standar lokal. Sedikit pun dia tidak menawarkan dagangannya kepada kami. Duh, jadi terharu…

Saat ikut tur ke Ko Tao esoknya (ambil paket dari si “dewi penolong”), masih ada “dewa” lain yang dijatuhkan dari langit buat kami. Kali ini dalam wujud guide cowok yang tampangnya mirip guide-guide di Bali. Gara-gara surprise baru kali ini bawa turis dari Indonesia, dia memperlakukan kami lebih istimewa dari 33 peserta lainnya. Diajak ngobrol banyak hal di luar sesi wajibnya, dikasih tahu spot-spot menarik, difotoin, dijagain barang-barang kami saat manjat ke view point di Ko Nang Yuan yang cantik nian. Wah, top abis deh!

—-
*Mayawati Nurhalim, 37 tahun, bekerja di salah satu majalah wanita. Baru bisa jalan-jalan keluar negeri (standar: Singapura) tahun 1994, baru mewujudkan mimpi menyelam di Raja Ampat, Papua, bulan Februari 2008. Tahun depan pengen backpacking sebulan ke Eropa atau menjelajah Tibet. Obsesi lainnya: terjun payung tandem.