Catatan: bagian pertama dari dua tulisan
Hostel adalah tempat penginapan para backpackers dimana satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur, biasanya model tempat tidur bertingkat (bunk bed). Paling decent, meskipun sedikit lebih mahal, bila menginap di hostel yang masuk ke dalam jaringan International Youth Hostel Federation (IYHF), organisasi non profit dengan logo pohon cemara biru yang tersebar di 80 negara. Di tiap negara pembahasaannya disesuaikan dengan bahasa lokal, jadi harus dihapal biar tidak nyasar. Misalnya di Perancis disebut Auberges de Jeunnesse, di Italia disebut Ostello, di Swiss (bagian Jerman) dan Austria disebut Jugendherberge.
Selain IYHF, boleh dicoba chain keduanya, seperti di Australia yaitu VIP Backpackers dan di New Zealand yaitu BBH (Budget Backpacker Hostel). Dengan menjadi member kita dapat diskon menginap, bila bukan member beda harganya 2-3 dolar. Yang penting punya kartu kredit untuk booking, karena biasanya selalu penuh. Yang jelas, menginap di hostel chain IYFH kita sudah tahu what to expect karena sudah standar yang berlaku internasional sehingga tidak usah diceritakan lagi.
Bila hostel yang bukan merupakan chain IYHF, besar kemungkinan kamarnya co-ed alias gabungan cewek dan cowok dalam 1 kamar. Modalnya harus pede tidur dengan orang yang tidak dikenal dan berjenis kelamin berbeda, plus kalau pas sial harus tahan dengan berisiknya ngorok para lelaki dan bau alkohol mereka. Belum lagi kalau pas ada cowok tidur di bunk bed (reot) di atas kepala kita, siap-siap deh berasa di kapal karena kegoncang-goncang. Paling lucu pas di hostel Auckland Central Backpackers, bisa-bisanya saya yang cewek sendiri tidur bareng dengan 4 orang cowok sekamar. Sedap bukan? Pernah di Cape Tribulation, Australia, pagi itu saya lagi ‘gebet’ seorang cowok kece di pantai, eh sorenya ketahuan dia sekamar dengan saya (dan 6 orang lainnya sih). Maksud hati mau lanjut ‘gebet’, tidak tahunya dia bawa cewek pula – malam-malam saya lihat ceweknya pindah ke tempat tidurnya. Sialan!
Yang terparah adalah hostel di (lagi-lagi) Edinburgh, Scotland, yang terletak di deretan bangunan tua dengan plang nama yang nyaris tidak kelihatan. Reception-nya terdapat di lantai 3, dengan tangga sempit berliku dan lembab mirip film Dracula. Kamarnya sempit meski khusus cewek, terdiri dari 8 bunk bed dengan kasur busa yang punya cekungan dalam di bagian tengahnya sehingga kalau merebahkan badan akan terlihat seperti sandwich – saya terjepit di antara kasur busa. Kamar tidur memang dibedakan antara cowok dan cewek, tapi kamar mandinya campur. Terdapat jejeran bilik shower dengan curtain berwarna putih menerawang bahkan banyak yang sudah bolong-bolong, dan orang yang mandi akan terlihat jelas mulai dari dengkul ke bawah. Saya hanya sikat gigi saja di wastafel sambil memandang orang-orang di balik bilik tersebut lewat pantulan cermin.
Hostel yang paling cantik adalah Villa Camerata di Florence, Italia. Mencapai ke sananya memang melelahkan karena terletak di atas bukit, apalagi sambil kepayahan menggendong ransel. Tapi cantiknya minta ampun, terletak di kaki bukit Fiesole dan merupakan bekas villa super besar abad ke-17 dengan arsitektur Renaissance. Kamar-kamarnya luas, langit-langitnya tinggi, jendelanya besar dan langsung menghadap pegunungan. Sedangkan hostel di kota kecil Marina di Massa yang bernama Ostello Apuano juga cantik. Waktu itu saya bersama 4 orang ‘teman nemu di jalan’ patungan menyewa kamar ‘suite’ di bekas ancient villa yang menghadap langsung ke pantai indah dengan balkon sendiri. Nikmat!
Favorit saya justru hostel yang tak direncanakan menginap saat nyupir kemalaman, yaitu Buscot Station di kota Omarama (mengingatkan saya sama si Raja Dangdut), New Zealand. Setelah tanya sana-sini, kami menerabas di kegelapan malam dan terlihatlah plangnya di pinggir jalan yang sangat sepi. Jalannya off road, makin jauh jalannya malah makin sempit… mulailah timbul pikiran2 buruk, “Waduh, jangan-jangan si empunya hostel ternyata pembunuh pake kampak, trus kita disekap dan disuruh kerja paksa nyabut-nyabutin rumput dan ngasih makan domba!” Mulailah kami pasang strategi, mulai dari cara merebut kampak, cara menyelamatkan diri, cara ini dan itu.
Sampailah kami di sebuah rumah besar bertingkat dan… keluarlah bapak-bapak tua yang sangat ramah menyambut kami. Dengan baiknya dia memberikan kami bonus, boleh tidur di kamar anaknya berinterior a la Eropa di lantai dua yang sangat cozy sekali, plus kamar mandi dengan bath tub. Dia cuman men-charge kami NZ$18 – sebenarnya merupakan harga untuk shared dorm jelek di belakang rumahnya. Besok paginya kami tambah merasa bersalah karena hostel ini pemandangannya indaaah banget, berlokasi di tengah farm yang luas dan dikelilingi pegunungan bersalju.
4 Comments
zulfan abidan mkh
March 21, 2009 9:08 pmmembaca tulisan ini sama aja baca buku shoe string, europe on 20$ a day atau round europe, mengasyikkan seolah olah saya mengalaminya saya dan saya mengagumi orang2 yang menulis buku/holy book ‘tuk wisatawan tas punggung/backpacker dan saya menjalani juga perjalanan wisata sebagai layaknya seorang backpacker(keliling australi thn 86, benelux, inggris dan prancis th 88), yang notabenenya adalah seorang traveler sejati, cuma disini KITA belum melihat sebelah mata tuk si wisatawan tas punggung, padahal mereka adalah “kesatria” terdepan dalam promosi pariwisata, karena pariwisata bukan cuma untuk turis bergantung tebal dengan tas/koper yang branded, tetapi untuk semua, sepetak tanah di jalan Jaksa adalah Ikon & landmark Jakarta ‘tuk backpacker mudah2an setelah pensiun saya bisa mengikuti cara berwisata anda yg mengasyikan walaupun harus tidur layaknya sandwich terima kasih tuk tulisannya bon vayage.
nicho
May 6, 2009 7:45 pmHmm..sebenernya ngeri nggak sih kalo di hostel gitu sekamar sama banyak orang asing? Apa nggak pernah ada kejadian aneh-aneh,Ms.T?
yanti sudhiksa
August 9, 2010 5:25 pmwuiihhh….apapun yg bikin duit kita lbh hemat, nggak papa dah sekamar rame2 gitu! biar kate ngorok kek , ngigau kek.. pasang aja headphone or ganjelan kuping! beres! ya gak mbk T?
Portland
May 22, 2011 4:34 amHostel Sandwich rocks!
Leave a Reply