Peringatan: sebagian orang mungkin terganggu dengan tulisan ini.
Bagaimana Anda menghabiskan malam saat traveling ke luar negeri? Makan makanan lokal sudah biasa, ke bar atau diskotik memang wajib hukumnya (terutama bagi anak muda) tapi itu juga biasa. Nah, cobalah pergi ke ‘distrik lampu merah’ atau red-light district setempat. Namun yang pertama kali di pikiran pastilah keluar kata ‘Amsterdam’, seperti niat saya ingin melihat langsung tempat prostitusi di sana. Yup, di situlah tempat prostitusi yang paling populer di dunia (konon sudah ada sejak 5 abad yang lalu) dimana sajian tubuh manusia nyaris bugil dipajang di jendela etalase berlampu merah. Bagaikan beli roti, kita bisa memilih jenis apa favorit kita, tinggal dibungkus dan bayar. Pilihan ‘rotinya’ pun beragam, terdiri dari segala macam warna kulit, segala macam ukuran tubuh, segala macam preferensi seks dan usia. Di bagian belakang etalase tersebut ada yang menyatu sekalian dengan rumah bordil, jadi benar-benar one-stop-shopping diterapkan di sini. Hebatnya lagi, para hoertjes (pelacur) di sana dilegalkan dan dilindungi undang-undang oleh pemerintah Belanda, bahkan ada organisasi khusus yang mengurus kesehatannya untuk memastikan bahwa mereka terbebas dari penyakit kelamin (guys, don’t you wanna read this? Hehe!)
Di jalan sempit itu pula banyak terdapat Sex Shops yang menjual majalah porno, film porno, mainan seks, dan segala hal yang berhubungan dengan seks dalam bentuk yang unik dan beragam, contohnya saja vibrator yang dipajang di rak diurutkan berdasarkan ukuran panjang penis persis kayak kita mencari kaset berdasarkan abjad penyanyinya. Juga terdapat bioskop yang hanya memutar film porno, bar dan diskotik khusus gay, tak ketinggalan sejumlah restoran Cina yang etalasenya bukan berisi manusia mejeng tapi bebek peking (sungguh saya tidak tertarik untuk makan di sana!), dan yang paling fiktif bagi saya adalah tempat pertunjukan manusia yang sedang berhubungan seks!
Saya ingat musim salju tahun 1995 ketika saya berkunjung ke sana bersama 4 orang teman. Rupanya muka Indonesia sangat terkenal di sana (regular customer eh?) sampai-sampai para waiters yang mejeng di luar pintu bisa menawarkan servisnya dalam bahasa Indonesia, “Apakah Anda senang menonton pertunjukkan n**n**t hidup kami?” Ha? Gile, kalimat ‘would you like to watch our live sex show’ diterjemahkan sangat gamblang sampai membuat saya tertawa berguling-guling!
Kalau di Asia, distrik lampu merah yang paling populer adalah Patpong di Bangkok, Thailand. Namun yang saya pikir tempat ini seperti di Amsterdam ternyata salah besar, isinya hanya bar-bar kecil di sepanjang 3 gang yang paralel. Bar di sini modelnya seperti di Jalan Jaksa lah, penuh bule mabok dan ayam-ayam yang joget (sok) seksi. Yang terkenal di tempat ini adalah Pu**y Show – pertunjukan ‘kesaktian’ kemaluan wanita – biasanya ada di lantai dua dengan tangga yang sempit menuju ke atas. Sebalnya adalah para calo yang mengejar-ngejar dan memaksa pengunjung agar mau nonton, “Flee, sil. No pay kopel chalge” (artinya: Free, Sir. No pay cover charge).
Karena seorang teman yang kena rayuan calo, kami masuklah ke tempat Pu**y Show. Ruangan di dalamnya seperti diskotik dengan lampu-lampu hidup-mati, di tengahnya ada semacam panggung catwalk dengan tiang-tiang besi, yah model bar striptease di Amrik gitu. Di sepanjang sisinya terdapat meja dan kursi yang menghadap panggung dan disuguhkan minuman.
Saat show dimulai…ya ampun, yang naik ke panggung adalah ‘mbok-mbok penjual jamu’! Asli cewek-cewek setengah tua, bogel, berperut buncit, badan penuh gelambir, dan maaf, ” rambut” yang sangat gondrong! Lingerie-nya juga tidak ‘matching’, masa pake bra renda-renda merah dengan celana dalam putih motif totol-totol hijau. Hiii…! Tapi jangan salah, ‘anu’ ‘mbok-mbok’ ini sakti banget, ada yang bisa minum Coca Cola pake sedotan, ada yang bisa ngeluarin silet, ada yang bisa ngerokok, bahkan ada yang bisa niup trompet! Dan keluarlah tagihan segelas orange juice seharga 300 Baht (jadi masuk tidak gratis kan?), plus segerombolan ‘mbok-mbok’ yang mendatangi meja kami sambil memaksa, “Tip! Tip! For me, tip!”
2 Comments
ridzki
January 22, 2010 1:43 amtip tip tip hujan rintip rintip diatas genting
tikagecin
June 4, 2011 8:04 pmtulisan ini ya yang kena banned?
wah untung ada di blog.. 🙂
Leave a Reply