Search:

Anthology Posts

Is London the Most Expensive City in the World?

by Fadhly Syofian*

Big Ben London

Is London the most expensive city in the world?, demikian keraguan saya. Berita yang saya dengar juga info dari beberapa teman menyatakan demikian. Info ini tentu membuat saya “berhati-hati” karena dompet saya tidaklah cukup tebal untuk dikonversi ke pounds saat berkunjung ke kota London. Berdasarkan survey yang dilakukan CityMayors, lembaga independen yang fokus pada urban affairs, tahun 2008 London berada di peringkat 1 sebagai the most expensive city in the world. Namun berdasarkan survey tahun 2009 yang juga dilakukan oleh CityMayors, peringkat 1-nya adalah Oslo sedangkan London melorot ke peringkat 21. Menurut CityMayors, hal ini terkait dengan devaluasi mata uang poundsterling. Lalu apakah benar London sudah tidak mahal lagi? Saya pun membuktikannya.

Awalnya saya ingin memesan Hotel Ibis di dekat Bandara Heathrow yang tarifnya sekitar 40 pounds/night (Rp 600.000). Tapi atas saran atasan yang memang orang British, dengan memperhitungkan ongkos transportasi dari Heathrow ke London, menginap di hotel sekitar Heathrow bukan pilihan yang tepat karena jatuhnya nanti bisa lebih mahal. Maka dipilihlah Hotel Ibis di Earls Court, Central London. Tarifnya 85 pounds/night alias Rp 1.275.000/malam. Pfff, teramat mahal untuk kelas hotel bintang tiga. Di Indonesia, dengan tarif segitu pasti sudah dapat tidur di hotel bintang lima. Harga segitu belum termasuk breakfast sebesar 8 pounds (Rp 120.000). Saat breakfast, daging yang disajikan adalah daging babi. Jadilah saya cuma sarapan dengan roti dan sup plus perasaan nyesek.

continue reading

Anthology Posts

Banyak bertanya tetap sesat di jalan

by Aan Wulandari Usman*

Nagatami Dam

Sebuah gambar cantik menarik perhatian saya dan suami. Gambar itu ada di peta wisata yang diambil di kantor kecamatan Fukuoka, Kyushu, Jepang. Jembatan merah melintang di atas sebuah danau dikelilingi rerimbunan pepohonan nan hijau. Nagatami Dam, itulah namanya. Selain tempatnya oke, jaraknya di peta kelihatan dekat banget. Terjangkau pula dengan naik sepeda sehingga tak perlu modal untuk ke sana selain otot kaki. Ya, saat itu baru menginjakan bulan kedua kami di Jepang. Acara wisata kami pun masih terbatas yang dekat-dekat.

Akhirnya saat akhir pekan, bersiaplah kami ke sana. Tapi, ternyata oh ternyata, menuju ke sana dengan naik sepeda tak semudah menjalankan jari di peta. Baru beberapa menit jalan, sudah lost! Nggak tahu dimana posisi kami. Akhirnya asal blusak blusuk sesuai feeling aja. Dan hasilnya adalah semakin bingung!

continue reading

Anthology Posts

Parnonya newbie backpacker

by Ariessita*

Belitong

Saya tuh pada dasarnya hobi jalan-jalan, tapi parno alias takuut banget untuk jalan sendiri karena takut diculik. Gara-garanya saya pernah nonton film tentang orang yang diculik, terus diambil ginjalnya, lalu korbannya terbangun di bathtub penuh dengan sayatan di pinggang kiri. Hiih! Tapi karena ‘kemakan’ sama buku Laskar Pelangi, saya menetapkan Belitong sebagai tujuan pertama sebagai backpacker newbie. Saya berhasil meracuni 2 orang teman, tapi mereka berangkat dari Palembang – artinya saya pergi sendiri dari Jakarta. Haduh.

Karena keparnoan saya lagi, saya ogah naik maskapai abal-abal karena tidak mau berakhir di rumah sakit, atau yang lebih parah, ke akhirat. Maka saya bela-belain naek Garuda berangkat dari Jakarta ke Bangka lalu naik kapal laut selama 4 jam ke Belitong. Sialnya, Garuda berangkatnya jam 6 pagi supaya bisa mengejar kapal yang brangkat jam 2 siang. Duh, berada di bandara jam 4 pagi sungguh tidak berperikemanusiaan karena saya harus bangun lebih pagi dari ayam.

continue reading

Anthology Posts

Jilbab Traveler

by Nelda Afriany*

Nelda (tengah) bersama teman2

Sebagai wanita Indonesia berjilbab, banyak yang bertanya kepada saya apakah saya pernah mendapatkan masalah selama berada atau bepergian di luar negeri. Beberapa bahkan bertanya apakah saya masih pake jilbab, disangka saya rela melepaskannya demi cari aman. Sulit juga menjawabnya, sebab saya punya pengalaman yang berbeda-beda yang tidak bisa digeneralisasikan.

Dari awal mula mengirim aplikasi untuk pekerjaan di Norwegia, saya ingat saat itu setelah hebohnya peristiwa 9/11. Syukur Alhamdulillah, sampai diterima dan bekerja, kantor saya tidak pernah mempermasalahkan keislaman dan jilbab saya meskipun kantor itu adalah komunitas berbasis Kristen. Salah satu teman kerja yang berasal dari Kanada pernah berkomentar, “Awalnya saya memang nggak biasa melihat kamu dengan penutup kepala seperti itu. Tapi lama-lama ya jadi biasa saja.” Ada juga rekan kerja dari Amerika yang bertanya, “Bagaimana pesta pernikahan di budaya saya sebagai muslim?”. Mungkin dia bingung bagaimana bentuk baju pengantin wanitanya. Beberapa hari kemudian, dia bertanya lagi, “Bagaimana dengan budaya pemakaman orang yang meninggal?”. Rasanya saya jadi duta besar Muslim saat menerangkan hal-hal seperti ini kepada mereka.

continue reading