Liburan di Situs UNESCO: Tanjung Kelayang Reserve, Belitung

Liburan di Situs UNESCO: Tanjung Kelayang Reserve, Belitung

Kalau mendengar “Belitung”, yang terbayang mungkin cuma Laskar Pelangi dan pantai berbatu granit. Tapi ternyata, pulau kecil ini punya status bergengsi: sejak 2021, Belitung resmi menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark! Salah satu situsnya adalah Tanjung Kelayang Reserve (TKR) di utara pulau. Penasaran, saya dan sepupu pun memutuskan untuk liburan ke sana pada Mei 2025—setelah sekian lama nggak ke Belitung lagi.

Dari bandara Tanjung Pandan, mobil kami menempuh sekitar 45 menit. Begitu belok ke jalan kecil, suasana langsung berubah: hutan hijau menyambut dengan kicauan burung dari segala arah. Di sinilah lokasi Tanjung Kelayang Reserve, kawasan konservasi seluas 350 hektare yang jadi rumah bagi spesies langka seperti tarsius Billiton, trenggiling Sunda, elang ekor putih, dan pohon Pelepak.

Di ujung jalan, berdiri Hotel Sheraton Belitung, satu-satunya hotel bintang lima jaringan internasional di pulau ini. Jangan bayangkan bangunan menjulang dengan interior mewah yang nggak nyambung dengan lingkungan sekitar. Hotel ini justru tampil minimalis, menyatu dengan alam, dan mengusung konsep keberlanjutan.

Lobi yang ramah lingkungan.

Lobinya berbentuk piramida segitiga, membingkai langit biru dan pantai lepas. Bahan bangunan hotel 80% lokal agar mengurangi jejak karbon, mulai dari atap sirap kayu, plafon batang Renggadai (nelayan lokal menggunakannya untuk menjemur ikan), dinding batu bata putih daur ulang, cat dari kaolin, sampai lantai granit Belitung. Tiga danau kaolin berwarna hijau pupus yang tersebar di kawasan hotel menambah adem suasana. Taman pun tidak ditata “rapi”—dibiarkan saja pasir, tanah, daun gugur, dan pepohonan pesisir hidup sebagaimana mestinya, sampai kadang tupai dan biawak (salah satunya bernama Kevin!) santai saja melintas.

Hotel ini punya 123 kamar yang ramah lingkungan. Selama tiga malam, kami menginap di kamar tipe Ocean View seluas 53 m² yang nyaman. Furniturnya serba kayu yang dibuat oleh pengrajin Belitung berpadu dengan dan anyaman bambu, bathtub dari batu, dekorasi dinding berupa bubu penangkap ikan, dan tidak ada plastik sama sekali—air minum isi ulang di dalam botol beling. Balkonnya luas menghadap danau dan laut biru, dan yang paling ajaib: nggak ada nyamuk!

Kamar Ocean View dan gaya andalan di kolam renang 🙂

Fasilitas favorit saya adalah kolam renang infinity-nya yang besar dan panjang banget! Pas berenang sambil lihat sunset, rasanya nggak pengin keluar dari air! Selain itu, ada Fitness Center dengan peralatan gym lengkap, Kids Club yang interiornya lucu, butik produk lokal, dan Shine Spa by Sheraton yang pijatannya bikin merem-melek (pilih terapisnya Kak Murni deh!).

Mie Belitung, Bubur Sumsum, Bhan Mi, resto.

Restoran utamanya di tepi pantai, Island Restaurant, menyajikan menu berbahan lokal. Mulai dari Mie Belitung berkuah udang, Sup Gangan berkuah kunyit, sampai Ayam Ketumbar khas Belitung. Sarapannya juga selalu ada sudut makanan Indonesia yang berganti tiap hari: nasi liwet, nasi gudeg, nasi uduk komplit. Makan siang dan malam memiliki menu yang variatif: ada Asia, Barat, dan tentu Indonesia dengan rasa yang melebihi standar hotel. Paling juara adalah dessert-nya: Klapertaart dan Bubur Sumsum yang dimodifikasi cantik dan rasa manis yang pas!

Hotel juga punya aktivitas harian gratis. Saya ikut program Whistle Trail, yaitu trekking di hutan Tanjung Kelayang Reserve. Bang Akbar, peneliti biologi TKR menerangkan tentang Ghost Orchid (anggrek langka), pohon Pelawan (penghasil arang tanpa abu), dan pohon Pelepak (pembuat kapal dan junjungan lada putih). Bahkan saya diberi kesempatan untuk menanam bibit Pelepak dengan plang nama di sebelah Miss Universe 2024! Uhuy!

Lalu kami mengunjungi Honey Farm, peternakan lebah tanpa sengat (Heterotrigona itama) dan menyeruput madu langsung dari honeypot-nya. Mampir juga ke danau kaolin biru seluas 200 hektare—sumber air utama hotel yang ditampung dari air hujan, difilter, dan dialirkan sesuai jumlah tamu. Semua prosesnya dijalankan dengan tenaga panel surya, tanpa sumur dalam. Ekowisata bukan slogan kosong di sini.

Whistle Trail, danau kaolin, Pulau Lengkuas, Goa Kelayang.

Tentu ke Belitung tidak lengkap tanpa island hopping. Kami pesan lewat BlueMind Experience, dan berangkat naik kapal privat langsung dari pantai depan hotel. Handuk, air minum dingin, alat snorkeling, life vest, sampai sunscreen sudah disediakan. Pertama, ke Pulau Lengkuas yang terkenal dengan mercu suar putih yang dibangun Belanda pada 1882. Tak jauh, kami snorkeling di air laut yang jernih dengan terumbu karang yang sehat dan ikan yang banyak.

Di Pulau Kelayang, kami makan siang aneka seafood sampai tandas dan masuk Goa Kelayang. Kami pun mampir ke beberapa tempat, yaitu Batu Garuda, pulau pasir yang asyik buat foto-foto, dan keramba ikan kerapu yang merupakan supplier restoran di Sheraton. Terakhir, kami bersantai di pulau pribadi milik TKR dengan pantai pasir putih yang sepi. Saya sempat mencoba Stand Up Paddle sambil menunggu matahari terbenam, lalu minum air kelapa yang dipetik langsung dari pohon di situ.

Saat ingin suasana kota, kami ikut tur ke Tanjung Pandan. Di sana saya ikut workshop membatik di Sepiak Belitung di mana produknya dijual di butik hotel. Meski Belitung tak punya tradisi batik, mereka mengembangkan motif khas lokal seperti daun simpor, bunga keremunting, sampai lada. Tekniknya unik: daun Kerinyu digetok ke kain pakai martil khusus. Hasilnya? Keren! Kami juga mencicipi Gangan kakap merah dan Ikan Belubus di restoran Gangan Sari, lalu ngopi di Kong Djie, warung kopi legendaris sejak 1940. Tur ditutup di Tanjung Tinggi, lokasi syuting Laskar Pelangi. Kami duduk di atas batu granit besar, memandangi matahari perlahan tenggelam ke laut.

Malam terakhir di balkon hotel, saya menengadah ke langit. Gelapnya sempurna, bintang bertaburan, suara jangkrik, kodok, dan tonggeret bersahut-sahutan. Di dunia yang makin bising dan terang, suasana seperti ini makin langka. Tanjung Kelayang Reserve menenangkan—bukan hanya karena cantiknya alam, tapi karena cara ia menjaganya. Di tempat yang jadi bagian dari Geopark Global UNESCO ini, saya merasa seperti tamu yang dihormati oleh bumi.


Dukung blog saya yang sudah berusia 20 tahun ini dengan berdonasi di sini. Terima kasih.

Leave a Reply

Leave a Reply