Saya termasuk rajin nonton pertandingan olahraga di tiap ajang Olimpiade, apalagi selama Olimpiade Tokyo 2020 ini pas pandemi. Saya yang mantan atlet tidak berprestasi di masa gabut ini jadi menelaah bagaimana caranya agar Indonesia bisa mendulang lebih banyak medali Olimpiade Musim Panas di masa depan. Kesimpulan (bodoh-bodohan) saya: kita harus sadar diri dulu dengan kondisi genetik tubuh orang Indonesia.Masalahnya, Indonesia merupakan 10 negara yang orangnya terpendek di dunia! Rata-rata tinggi badan orang Indonesia dewasa adalah 158,17 cm dengan pria 163,55 cm dan wanita 158,17 cm. Bandingkan dengan yang tertinggi yaitu Belanda dengan rata-rata 183,79 cm atau yang terpendek Timor Leste dengan 155,47 cm. Ras Asia Tenggara memang secara genetik termasuk yang terpendek, di antara 10 negara itu ada juga Laos dan Kamboja.Padahal cabor (cabang olah raga) atletik dan renang yang merupakan penyedia medali terbanyak di Olimpiade, masing-masing sebanyak 48 dan 37 emas, sangat membutuhkan tubuh atlet yang tinggi. Lupakan cabor favorit dunia yang sering diajarkan di sekolah macam basket dan voli karena tinggi atletnya aja 2 meter. Umumnya orang yang memiliki postur tubuh tinggi maka akan lebih menguntungkan di banyak cabor karena jangkauannya lebih panjang. Sementara ukuran tinggi tubuh itu bergantung kepada ras manusianya. Maka ada hubungannya antara ras manusia dan prestasi cabor, misalnya ras kulit putih jago di renang dan ras Asia jago di tenis meja. Sedangkan ras kulit hitam paling jago di cabor atletik, terutama lari.
Rata-rata tinggi atlet renang Olimpiade Rio 2016 adalah 188 cm untuk pria dan 175 cm untuk wanita. Di Olimpiade Tokyo 2020, perenang putra Caeleb Dressel (AS) yang dapat 5 medali emas tingginya 191 cm dan perenang putri Emma McKeon (AUS) yang dapat 4 medali emas tingginya 180 cm. Sementara perenang putra Indonesia terbaik sepanjang masa Richard Sam Bera tingginya 183 cm (termasuk sangat jangkung di Indonesia) tapi prestasi tertingginya adalah medali perunggu di Asian Games saja.
Ada penelitian menarik dari Direktur Copenhagen Muscle Research Institute, Bengt Saltin, yang menjelaskan mengapa pemain top basket NBA hampir semuanya berkulit hitam. Kesimpulannya, untuk membentuk atlet basket yang dahsyat, lingkungan dan teknologi menyumbangkan 25 persen, selebihnya datang dari faktor genetik. Ini membuktikan mengapa Filipina yang negaranya “basket banget” (karena bekas jajahan AS) dan selalu dapat emas basket di SEA Games namun tidak pernah lolos kualifikasi Olimpiade.
Untuk memperbaiki genetik atlet, maka tak heran sebagian atlet berprestasi di negara Asia merupakan ras campuran. Petenis Naomi Osaka dan pebasket Rui Hachimura merupakan campuran Jepang dan ras kulit hitam. Perenang Siobhan Haughey pemegang 2 medali perak Olimpiade Tokyo merupakan campuran Hongkong dan Irish – pemegang medali emasnya tentu dari ras kulit putih. Sayangnya kalau di Indonesia, ras campuran lebih diminati jadi artis.
Jangan khawatir karena ada kok cabor yang tinggi badan tidak begitu pengaruh, seperti bulu tangkis, tenis meja, golf, baseball/softball, hoki, dan sepak bola. Di Olimpiade Tokyo 2020, bulu tangkis yang merupakan andalan kita membuktikannya. Viktor Axelsen yang dapat emas tingginya 194 cm, Chen Long yang perak tingginya 187 cm, Anthony Ginting yang perunggu tingginya 170 cm. Sebaliknya, pasangan Greysia/Apriyani yang pemegang emas justru tubuhnya terpendek dibanding Tiongkok yang perak dan Korea Selatan yang perunggu. Tapi untuk olahraga beregu sepertinya sulit berkembang maju di Indonesia, mungkin karena butuh fasilitas dan dana lebih besar yang rawan korupsi.
Dengan mempermasalahkan tinggi badan, sebaiknya Indonesia memfokuskan cabor Olimpiade yang justru dengan memiliki tubuh pendek malah keuntungan. Secara ilmiah dijelaskan bahwa orang pendek itu lebih dekat dengan pusat gravitasi bumi sehingga tubuh mereka memiliki keseimbangan lebih baik. Contoh cabornya antara lain:
- Weightlifting (angkat berat) karena tubuh pendek membuat jarak untuk mengangkat barbel ke atas kepala jadi lebih pendek.
- Gymnastic (senam) termasuk Trampolining, Surfing (selancar), Sport Climbing (panjat dinding) dan Skateboarding karena tubuh pendek tidak gampang jatuh, juga butuh tingkat keseimbangan dan fleksibilitas yang tinggi.
- Diving (loncat indah) karena tubuh pendek (dan kecil) menimbulkan sedikit cipratan saat jatuh ke air, juga lebih mudah salto.
- Archery (panahan) dan Shooting (menembak) karena butuhnya keseimbangan sehingga lebih ajeg.
Bisa juga Indonesia memfokuskan pada cabor Olimpiade yang berdasarkan berat badan, seperti taekwondo, tinju, judo, karate, dan gulat. Buktinya Thailand sukses mendapat emas dari taekwondo putri kelas 49 kg, sedangkan Filipina medapat perak dari tinju putra 48–52 kg dan emas angkat besi putri kelas 55 kg. Jelas orang Asia Tenggara punya kesempatan besar di kelas dengan berat badan ringan ini! Apalagi kalau cabornya merupakan kombinasi antara tinggi tubuh dan berat badan dengan gender putri.
Tiongkok adalah contoh sempurna karena mereka sangat sadar diri akan genetiknya. Sejak pertama kali Tiongkok ikut Olimpiade Los Angeles pada 1984, 75% medali emasnya didapat dari cabor loncat indah, angkat besi, senam, tenis meja, menembak, dan bulu tangkis – sebagian besar didapat oleh atlet putri. Hebatnya sekarang mereka telah merambah medali di hampir seluruh cabor Olimpiade, bahkan di cabor non Asia seperti atletik dan renang. Kesuksesan mereka karena didukung penuh oleh pemerintahnya. Pencarian bakat dilakukan sejak mereka masih anak-anak, dimasukkan ke camp khusus untuk latihan, dan dibiayai negara – meski konon latihannya sangat keras. Atlet yang mulai berlatih dan berprestasi sejak anak-anak, maka kemungkinan untuk bertanding di Olimpiade yang diadakan setiap 4 tahun sekali itu bisa berkali-kali.
Memang tinggi badan bukan satu-satunya cara untuk mendulang medali, tapi merupakan tahap awal bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya memfokuskan pengembangan cabor tersebut bila tujuannya adalah Olimpiade. Hal ini bukan berarti cabor lain harus dikesampingkan, karena masih ada Asian Games, SEA Games, dan PON. Juga tidak berarti saya menafikan usaha para atlet di cabor manapun. Banyak faktor lain yang membuat atlet berhasil, seperti dukungan pemerintah, keluarga, pelatih, fasilitas, latih tanding, dan dana. Namun sekali lagi, bila tujuannya Olimpiade maka pilihlah cabor yang sesuai dengan genetik orang Indonesia.
Dengan adanya cabor baru Olimpiade Musim Panas yang cocok dengan tubuh orang Indonesia seperti sport climbing, surfing, dan skateboarding, bahkan di Olimpiade Paris 2024 ada cabor breakdance, Indonesia harusnya bisa berpartisipasi, bahkan berprestasi! Sementara kalau mau berpartisipasi di Olimpiade Musim Dingin, Indonesia cocok ikut cabor figure skating. Jadi rajinlah berlatih dari sekarang, bertanding sampai ke regional, lalu lolos kualifikasi Olimpiade. Ayo semangaaat!