Dari dulu cita-cita saya ke Bolivia karena pengin ke Salar de Uyuni, ladang garam terbesar di dunia. Kalau sudah baca buku The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip, pada 2013 saya udah pernah segitu dekatnya dengan Bolivia, eh sampai di perbatasan Peru-Bolivia saya ditendang! Kesempatan itu datang lagi ketika saya mendapat beasiswa Residensi Penulis lima tahun kemudian.
Tapi masuk Bolivia tidak semudah itu, Ferguso! Di medsos dan media online diberitakan bahwa WNI yang mau masuk Bolivia bisa pakai e-visa atau bermodalkan paspor doang, tapi itu hoax! Tau nggak, menurut Bolivia, Indonesia itu masuk ke Negara Kategori 3 alias yang kasta terendah barengan Afghanistan, Syria, Iraq dan Sudan! Kasian banget ya kita? Intinya kita tetep harus apply visa. Sialnya lagi, di Indonesia nggak ada Kedutaan Besar Bolivia. Paling dekat ada di Beijing, Seoul atau Tokyo – yhaa, bikin visa lagi!
Untungnya saya lagi tinggal sementara di Peru, maka saya apply visa di Kedutaan Besar Bolivia di Lima yang jaraknya hanya dua blok dari rumah. Formulirnya memang online (kayak e-visa), tapi abis itu harus diserahkan sendiri ke kedutaan. Syarat lain adalah punya kartu kuning (vaksin yellow fever), booking-an hotel per hari, tiket pesawat pp, dan rekening koran. Sebelum masuk kedutaan aja masih harus antre panas-panasan di trotoar, udah kayak mau nyari suaka ke negara adidaya.
Oh ya, ngomong sama satpam dan petugas visa harus dalam bahasa Spanyol lho ini! Pas rekening koran saya diperiksa, saya diketawain karena berupa fotokopi buku tabungan bank di Indonesia yang dia nggak ngerti bahasanya. Saya jelaskan kondisi saya dan minta dicarikan solusi. Katanya boleh fotokopi kartu kredit aja. Saya pun minta izin pulang dulu untuk kasih berkasnya. Cus, dalam waktu setengah jam saya udah balik lagi ke kedutaan. Setelah dokumen diserahkan, katanya akan dikabari ke nomor hape Peru saya.
Eh, sampai dua minggu kemudian nggak ada kabar! Saya minta tolong teman orang Peru telepon ke kedutaan biar lancar ngoceh. Kata kedutaan saya harus bayar visa USD 30 ke bank dulu berdasarkan nomor aplikasi. Saya sampe senewen harus transfer duit di bank dalam bahasa Spanyol! Sialnya, berkali-kali ditolak karena salah nomor. Saya pun lari ke kedutaan untuk komplain, lalu dikasih nomor lain, ke bank lagi, ke kedutaan lagi. Tiga hari kemudian barulah visa saya jadi. Itu pun berbentuk kertas fotokopian yang ditempel di paspor. Huu, dasar kismin!
Beberapa hari kemudian saya terbang dari Lima tengah malam dan mendarat di Santa Cruz jam 3.45 pagi. Drama belum selesai. Begitu saya menyerahkan paspor ke petugas imigrasi Bolivia, tiba-tiba dia berteriak, “INDONESIAA!” sambil berdiri mengacung-acungkan paspor saya di udara dan menunjuk-nunjuk saya dengan jari telunjuknya. Seketika semua orang menoleh ke arah saya. Anjir, kayak ketemu buronan FBI aja! Saya pasang muka blo’on aja. Si petugas pergi ke kantor bosnya, ngomong-ngomong, lalu balik lagi. Mulailah saya ditanya macam-macam: mau ngapain, berapa lama, ke mana aja, duitnya berapa, dll, dsb – dalam bahasa Spanyol. Bangga juga saya bisa jawab semua. Akhirnya paspor saya dicap dan saya mencari ransel saya yang sudah digeletakkan di lantai saking lamanya interogasi.
Sebenarnya di Santa Cruz saya hanya transit sebelum terbang ke Guayaramerin. Di sana saya akan bertemu narasumber seorang pastor WNI yang bertugas di pedalaman Amazon. Penerbangan selanjutnya jam 10 pagi, jadi masih lama. Saya pun menyalakan hape, eh mati! Bukan internet aja, tapi mati seluruh service karena tidak ada kerja sama jaringan, baik dengan operator hape Peru maupun Indonesia! WiFi gratis di bandara? Boro-boro! WiFi di sana sama sekali nggak terdeteksi. Widih, udah kayak di Kuba aja!
Karena lapar, saya makan di kafe. Eh, mereka tidak terima kartu debit maupun kartu kredit, jadi harus cash. Pergi lah saya ke ATM di lantai dua. Ada 10 ATM dari bank berbeda tapi tidak satupun bisa narik duit pake 2 kartu debit bank besar di Indonesia, meski ada lambang Visa dan Cirrus sekalipun! Gila banget ini negara! Akhirnya saya balik lagi ke kafe dengan membayar pake uang Sol Peru yang tersisa – untungnya cukup. Lalu saya berpikir keras: gimana caranya hidup di Bolivia kalo nggak punya duit sama sekali?
Jam 10 saya terbang dengan rute Santa Cruz – Trinidad – Riberalta – Guayaramerin. Iya, tiga kali naik pesawat! Nama maskapainya Amaszonas. Pesawatnya kecil model baling-baling dengan kapasitas 30-an kursi. Drama pun berlanjut di dalam pesawat. Ternyata peragaan keselamatan dari pramugari hanya dalam bahasa Spanyol! Kirain bahasa Inggris itu bahasa standar maskapai seluruh dunia, tapi tidak berlaku di Bolivia. Yang bikin stres adalah kelakuan penumpang Bolivia: hampir semuanya ngobrol di hape dengan suara keras, bahkan sampai pesawatnya sudah take off! Saya yang udah naik darah menyuruh ibu-ibu di sebelah saya untuk mematikan hapenya, eh dicuekin! Tiga kali naik pesawat, tiga kali kejadian tadi terulang.
Karena tiap transit kami harus turun, yang bikin syok adalah bandaranya. Di Trinidad masih mending lah karena merupakan ibu kota kabupaten, jadi masih ada temboknya. Tembok? Iya, bandara Riberalta itu nggak ada temboknya, malah merupakan bandara terburuk di dunia yang pernah saya datangi! Booo, itu kayak bengkel jorok berlantai tanah dan beratap seng dengan bangku-bangku kayu yang reyot! Terakhir di Guayaramerin bandaranya kayak garasi, cuman dikasih tiang dan atap seng, ya nggak ada tembok juga. Setelah nyaris 5 jam terbang, saya cuman bisa ngakak sendiri melihat koper-koper bagasi digeletakin aja gitu di tanah dan kita berebutan ngambilnya!
Singkat cerita, urusan perduitan pun beres karena ada yang minjemin. Dalam dua minggu di Bolivia, saya sempat ke Brazil dari Guayaramerin (hanya tinggal menyebrangi sungai), keliling Santa Cruz (kota terbesar di Bolivia dan ibu kota finansial), keliling La Paz (ibu kota tertinggi di dunia dengan ketinggian 3.640 mdpl atau setinggi Gunung Semeru), dan akhirnya tercita juga capai-capai saya ke Salar de Uyuni (padang garam terbesar di dunia)!
(Not so) Fun fact: Udah segitu susahnya WNI masuk Bolivia, eh kalo WN Bolivia masuk Indonesia dapat BEBAS visa dan gratis! Duh, nggak ada harga dirinya ya? ?