Entalula Island

Travel

El Nido dulu dan sekarang

By Trinity

February 25, 2016

Sebagai delegasi ASEAN Tourism Forum 2016, kami diberi kesempatan untuk ikut post-tour ke salah satu dari 10 destinasi wisata di Filipina dengan hanya membayar USD 150 all in untuk paket 4 hari 3 malam. Lucunya, saya sudah pernah ke 10 destinasi tersebut saking doyannya traveling di Filipina. Maka saya pun memilih untuk ke El Nido karena grupnya kecil, hanya 15 orang khusus media – di destinasi lain grupnya 40-60 orang dan bercampur dengan para buyers dan sellers. Selain itu, itinerary-nya “gue banget”, hanya island hopping dan berenang. Yang jelas kalau paketnya dihitung, value El Nido paling mahal dibanding ke-9 destinasi lainnya.

Pertama kali saya ke El Nido pada 2004 bekpekingan bareng si Nina dan Jade. Kami menginap di losmen busuk di El Nido Town dan patungan nyewa kapal untuk island hopping bareng Christian asal Australia. Nggak nyangka 12 tahun kemudian saya kembali dengan gaya luxury bersama para jurnalis internasional!

Saya baru tahu bahwa sekarang sudah ada direct flight langsung dari Manila yang hanya sejam, jadi nggak usah terbang ke Puerto Princesa dan naik jeepney 6 jam lagi. Mendarat di El Nido Airport pun sudah tidak ada becak (tricycle) lagi yang berbagi runway dengan pesawat, sekarang berganti dengan jeepney. Bangunan bandara sekarang sudah bukan garasi lagi, tapi 2 rumah besar meski tetap terbuat dari kayu dan non-AC, sayangnya hammock sudah tidak ada karena berganti dengan bangku permanen.

Kami menginap di Lagen Island Resort yang terletak di ujung Pulau Lagen yang dipenuhi hutan lebat dan diapit tebing limestone, sekitar 45 menit naik kapal dari El Nido yang terletak di mainland Pulau Palawan bagian utara. Hotel ini sangat eco friendly. Begitu nyampe kami langsung di-briefing tentang pelestarian alam. Kami diberi brosur berisi aneka satwa yang dapat ditemui di sekitar El Nido. Setiap tamu wajib mengisi dan memberi tanda satwa apa yang ditemui, tanggal dan lokasinya, agar satwa tersebut tetap terpantau. Kami juga diberi kantong khusus untuk tempat sampah, baik sampah sendiri maupun sampah orang lain. Di kamar dikasih minum air putih cuman sebotol, sisanya harus refill sendiri untuk meminimalisasi sampah plastik. Karena letaknya yang nyempil, saya bertanya apakah ada sumur air tawar. Ternyata mereka menyuling air dari laut. Pembuangannya pun telah melalui proses waste management yang baik.

Almost sunset in Lagen Island

Setiap hari kalo nggak leyeh-leyeh di resort, kami island hopping ke sebagian pulau dari 45 pulau yang ada di Bacuit Bay dipandu oleh guide bernama Marlon. Kami kayaking di Small Lagoon dan Big Lagoon di labyrinth tebing-tebing limestone, snorkeling di Bayog Beach dan Miniloc Island bersama schooling ikan giant trevally, caving di Codognon Cave, hiking di Snake Island, serta makan siang dan berenang di Entalula Island dan Dibuluan Island. Kepulauan El Nido memang mirip dengan Raja Ampat dengan skala yang lebih kecil, maka tak heran ia disebut sebagai “the best beach and island destination in the Philippines”.

Entalula Island

Apa perbedaannya kawasan itu sekarang dan 12 tahun yang lalu? Bisa dikatakan tidak ada. Semuanya tetap tampak sama. Pemandangannya tetap spektakuler, terumbu karangnya tetap sehat, ikannya tetap banyak, pantai-pantainya tetap bersih tanpa sampah. Yang berbeda adalah pantai favorit saya di Entalula Island. Dulu hanyalah pulau tak berpenghuni, sekarang sudah ada satu restoran – itu pun dibuat eco friendly jadi tidak mengganggu pemandangan dan kebersihan. Peraturan keselamatan transportasi laut Filipina pun tetap ditegakkan – setiap penumpang kapal, sebusuk apapun kapalnya, tetap wajib mengenakan life jacket. Ah, sangat salut!

Yang paling berbeda hanyalah El Nido Town. Meski pemandangan ke arah laut tetap kece, namun sekarang jauh lebih rame, sudah banyak mobil, toko, hotel , restoran, bar. Saya masih ingat dulu di sana hanyalah desa nelayan kecil, penginapan kebanyakan model losmen atau homestay yang menyatu dengan rumah pemilik, restoran cuman ada beberapa – itupun kami sering dipelototin pemuda desa karena kami disangka cewek Pinay asal Manila yang sombong karena hanya ngomong bahasa Inggris. Saking kecilnya, semua kenal semua orang, terutama sesama turis. Tiap malam karena tidak ada hiburan dan sinyal telepon, sesama turis saling jemput dan nongkrong di suatu tempat untuk berpesta.

Dari trip ini, ada cerita menarik. Rombongan jurnalis terdiri dari 3 orang Rusia, 3 orang Turki, 2 orang Polandia, 1 orang Portugal, 1 Belgia, 1 Tiongkok, saya sendirian orang Indonesia, dan 2 orang panitia Filipina dari travel agent Intas dan Tourism Promotions Board. Saking parnonya pemerintah Filipina, rombongan kami dikawal oleh 2 orang polisi! Terus terang rombongan ini adalah rombongan media yang paling aneh. Semuanya takut matahari, termasuk bule-bule. Parahnya, semua saling ngegeng sehingga jarang terjadi percakapan di antara kami kecuali basa-basi, mungkin karena bahasa Inggris mereka yang kacau. Padahal kami makan selalu semeja, tapi mereka memisahkan diri aja gitu.

Jadilah saya ngegeng dengan kakek-kakek Portugal berusia 70 tahun bernama Salvador. Di antara rombongan, dia jurnalis paling profesional – selalu merekam dengan camcorder, memotret, dan mencatat. Meski paling tua, si kakek sangat asik diajak ngobrol, pintar, berbahasa Inggris dan Spanyol lancar, doyan berjemur dan berenang kayak saya. Badannya masih sangat fit, ingatannya masih tajam. Keren aja gitu saat dia bercerita, “50 tahun yang lalu saya ikut perang di Angola”, atau “40 tahun yang lalu saya ke Beijing, orang masih naik sepeda”. Lucunya, memori jangka pendek malah terganggu. Bisa-bisanya lagi posting foto di Facebook, dia bertanya, “Sekarang ini kita lagi di negara apa?” Hehehe!

Malam terakhir saya dan kakek menonton video hasil buatannya di camcorder-nya yang juga berfungsi sebagai projector. Angle-nya menarik, kualitas bagus, bak film dokumenter perjalanan di TV. Saya pun bertanya, “Elo setua gini emang nggak capek ya traveling mulu, apalagi terbang jauh di economy class?” Si kakek menjawab, “If I don’t travel, I’d die.”