Anthology Posts

Banyak bertanya tetap sesat di jalan

By Trinity

August 31, 2010

by Aan Wulandari Usman*

Nagatami Dam

Sebuah gambar cantik menarik perhatian saya dan suami. Gambar itu ada di peta wisata yang diambil di kantor kecamatan Fukuoka, Kyushu, Jepang. Jembatan merah melintang di atas sebuah danau dikelilingi rerimbunan pepohonan nan hijau. Nagatami Dam, itulah namanya. Selain tempatnya oke, jaraknya di peta kelihatan dekat banget. Terjangkau pula dengan naik sepeda sehingga tak perlu modal untuk ke sana selain otot kaki. Ya, saat itu baru menginjakan bulan kedua kami di Jepang. Acara wisata kami pun masih terbatas yang dekat-dekat.

Akhirnya saat akhir pekan, bersiaplah kami ke sana. Tapi, ternyata oh ternyata, menuju ke sana dengan naik sepeda tak semudah menjalankan jari di peta. Baru beberapa menit jalan, sudah lost! Nggak tahu dimana posisi kami. Akhirnya asal blusak blusuk sesuai feeling aja. Dan hasilnya adalah semakin bingung!

Satu-satunya cara adalah bertanya. Sesuatu yang paling kami hindari. Maklum, kami masih bagaikan orang bisu dan buta di negeri ini. Bisu karena belum bisa ngomong. Buta karena kami belum bisa membaca huruf yang keriting itu. Memang sih, kalau hanya bertanya tempat saja seperti “dimanakah tempat ini?” kami bisa karena itu pelajaran bahasa Jepang dasar banget. Nah, yang menjadi masalah adalah kami belum tentu bisa  mengerti jawaban yang diberikan! Orang Jepun itu kan baik banget. Bertanya satu kata, akan dijawab dengan kalimat sepanjang gerbong kereta api. Buat yang ngerti bahasanya sih tentu akan semakin jelas, tapi buat kami tentu saja malah tambah ruwet.

Tak ada cara lain, kami harus tanya. Kami menanyakan posisi kami sekarang dalam peta dimana, juga mengatakan akan menuju Nagatami Dam. Dan bener kan? Mereka menjawab dengan panjang kali lebar. Tak satu pun kata yang bisa kami tangkap selain menghapal jari mereka nunjuk-nunjuk arah jalan dan peta. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali ala Jepun yang pake nunduk-nunduk, kami pun melanjutkan perjalanan lagi.

Tahu-tahu, sampailah kami di sebuah persimpangan. Ndilalahnya lagi, feeling juga kurang kuat untuk mengambil ke kiri atau ke kanan. Untunglah ada kakek-kakek, yang memandang kami penuh arti. Dan pandangan itu tentunya tak kami sia-siakan, kami pun bertanya jalan. Alamak, jawabannya lebih panjang lagi! Tak hanya itu, beliau mulai mengajak ngobrol. Kami timpali obrolan itu hanya dengan senyum-senyum dan mengangguk-angguk. Lama kelamaan sepertinya beliau mulai sadar bahwa kami tak mengerti dan beliau pun menyilakan kami untuk jalan.

Duh, gusti… tempat yang hanya sejengkal di peta itu ternyata jauhhhhh banget! Mana jalannya menanjak lagi! Lebih dari satu jam ngegowes, kadang turun dan menuntun sepeda karena nggak kuat mendaki. Saya mulai putus asa dan mengajak suami pulang. Tapi ditentangnya dengan sangat. Fiuhh, rasanya sudah gempor kaki ini. Untunglah, terlihat tanjakan sudah berujung dan ada orang untuk bertanya lagi. “Tuh ada di sana. Dekat lagi!” katanya sambil menunjuk jalan dengan jari. Tumben jawabannya singkat, padat, jelas. Tarraaa… seperti apakah tempat yang kelihatan bagus di gambar itu? Dan untuk mencapainya, kami harus bersepeda penuh perjuangan selama dua jam?

Huhuu… tukang foto emang menipu! Tepatnya tidak jujur. Yang ada di foto itu cuma bagusnya aja. Ternyata, tempat itu tak lain hanyalah sebuah bendungan (ya iyalah, kan sudah dibilang juga namanya dam: Nagatami Dam). Di dekatnya ada lapangan besar dikelilingi lintasan lari. Ada juga arena bermain berisi perosotan dan ayunan, tapi jauh lebih bagus di taman dekat rumah. Di situ semuanya hanya terbuat dari kayu dan kotor. Jadi ini benar-benar hanya bendungan biasa aja dengan jembatan warna merah di atasnya! Udah, gitu ajah!

Walaupun kecewa, kami tetap lama di sana. Rugi amat bila kami hanya beberapa menit di sana setelah berjuang dua jam! Sialnya, nggak ada orang jualan. Bahkan jidohanbaiki (mesin penjual minuman otomatis) pun tak ada. Setelah rasa capai naik sepedanya mulai hilang, kami pun pulang. Kapok dah ke sini lagi!

Suami mengusulkan untuk ambil jalan lain untuk pulang tapi saya menentang keras takut nyasar lagi. Tapi sampai di persimpangan, tempat kami tadi terakhir bertanya, saya berubah pikiran. Wuih, jalan itu ternyata curam sekali. Nggak kebayang kalau kami tadi menaiki jalan securam itu. Kami pun memilih jalan satunya lagi yang sama-sama menurun tapi tidak terlalu curam. Werrrrr…kami pun meluncur dengan suka cita. Bila dibandingkan saat berangkat tadi, rasanya seperti di surga.

Tak sampai seperempat jam, kami terbelalak di sebuah jalan di mana kami berada. Tak salah lagi, inilah tempat saat kami bertanya pertama kali. Jarak dengan rumah ternyata tak sampai 10 menit. Oalah! Kesimpulannya, walaupun tadi kami sudah banyak bertanya, dan sampai tujuan dengan selamat, tapi judulnya tetap tersesat!

— *Aan Wulandari Usman – Seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang sangat suka jalan-jalan. Sering melihat peta atau googling mencari tempat unik menarik yang bisa disambangi. Hobi kedua adalah menulis. Beberapa liputan jalan-jalannya pernah dimuat di majalah Bravo!, Sekar, Paras dan Suara Merdeka.