Anthology Posts

Orang kita di Hongkong dan Macau

By Trinity

July 07, 2010

by Ellen Eliawaty*

Hotel di Macau

Karena digoda iklan pariwisata yang hampir setiap hari muncul di koran, kami pun berketetapan hati untuk berangkat ke Hongkong dan Macau pada akhir Desember 2009 lalu. Dalam pesawat Garuda yang membawa kami dari Jakarta, semua kursi penuh-nuh-nuh, tidak ada satu pun yang kosong. Hebatnya, hanya kurang dari 10 orang saja yang bukan orang Indonesia. Nyaris semua orang Indonesia, orang kita, alias Wong Kito Galo (“orang kita semua” dalam bahasa Palembang). Dalam hati saya bergumam sendiri, ternyata bukan kami saja yang termakan iklan, banyak juga yang lain. Tak terasa penerbangan sekitar 5 jam kami lalui dengan aman dan sentosa serta bahagia. Terutama bagi saya pribadi karena merasa rotinya kali ini enak sekali, lebih lembut dan harum – satu awal yang baik bagi Garuda yang katanya sedang berbenah diri.

Sesampainya di Bandara Hongkong, seru sekali melihat orang-orang yang begitu bersemangat mempersiapkan diri dengan jaket tebal, bahkan topi dan sarung tangan wol, bagaikan hendak berseluncur di pegunungan Alpen, padahal kami semua masih berada di dalam gedung bandara. Terlihatlah bendera-bendera biro perjalanan yang selama ini memasang iklan di koran menghiasi langit-langit Bandara. Rupanya saat ini mereka sedang panen. Saya yang semula santai jadi ikut-ikutan bersemangat. Ciaaa…youu…! (artinya “bersemangat “dalam bahasa Mandarin, walaupun secara harafiah berarti “tambah minyak”).

Di Hongkong, orang kita ternyata ada di mana-mana: di hotel, di obyek wisata, di pusat perbelanjaan, di jalanan, di restoran mewah bahkan di restoran kaki lima. Saya sering main tebak-tebakan dengan anak saya kalau berhadapan dengan serombongan orang Asia, apakah mereka dari Indonesia atau bukan. Tanpa mendengar mereka berbicara, cukup dari jauh dengan hanya melihat penampilannya saja. Dan kami seringkali benar. Walaupun sekarang sudah jaman  globalisasi, dimana pakaian, dandanan dan gaya di seluruh dunia sudah hampir sama, tapi orang kita tetap beda. Menurut saya, orang kita – terutama wanita paruh baya – lebih trendy. Tak jarang kita melihat mereka menggunakan make-up lengkap dengan rambut yang ditata sempurna bagaikan hendak ke pesta, padahal hanya untuk jalan-jalan saja dimana kenyamanan gerak lebih dibutuhkan. Senang juga melihat ibu-ibu yang cantik ini, tak sia-sialah mereka menjaga penampilan dimana dibutuhkan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Orang kita juga terkenal paling senang berbelanja, terutama di toko-toko yang menjual barang bermerek, apalagi yang ada tulisan “SALE”.  Hongkong di akhir tahun memang sedang mengadakan Sale besar-besaran. Sering barangnya sampai tidak kelihatan karena tertutup dengan orang-orang kita yang sedang berebutan. Pernah suatu kali saya melihat di butik merk terkenal yang terletak di tepi jalan raya, orang-orang yang mengantri panjang sampai di luar toko tepat di pinggir jalan raya. Rupanya diskon sampai 70%. Mereka rela berbaris tertib menunggu giliran masuk, ditambah lagi was-was disenggol mobil yang berjalan di sisinya. Bagaimana kalau sampai diseruduk mobil ya? Apakah setimpal perjuangan yang dilakukan dengan barang yang diinginkan? Berbeda dengan toko yang ada tulisan “New Arrival”. Masuk ke toko ini orangnya dihitung, lalu dikandangkan dengan tali penyekat seperti antrian di bank. Kemudian barang yang diminati juga diambil oleh pelayan toko yang memakai sarung tangan dengan sangat hati-hati bak memegang benda pusaka, sementara satpam matanya melirik kiri-kanan bagaikan penari Bali. Apakah nyaman berbelanja dengan cara seperti itu ya?

Saya bertemu dengan sepasang suami-istri yang sedang berdiskusi mengenai makanan yang akan dibeli di konter makanan Korea di Food Court Hotel Venetian Macau. Karena tahu sama-sama dari Indonesia, kamipun bertukar cerita. Istrinya berkisah bahwa mereka sudah berada disini selama 3 hari 3 malam belum kemana-mana, hanya berkutat disekitar hotel dan casino. Mengetahui saya baru saja datang dari Hongkong, istrinya bertanya, “Bagaimana keadaan di Hongkong?”. Saya jawab, “Hongkong ramai sekali dengan orang Indonesia karena sedang ada sale besar-besaran.” Seketika raut wajahnya berubah, terpancar kekecewaan disana, lalu bilang, “Ah, aku juga mau ke Hongkong”. Rupanya jauh-jauh dari Indonesia mereka hanya berdiam di hotel saja. Bayangkan!

Saat jam makan, seluruh tempat di restoran hotel terisi penuh. Ternyata 90%-nya bersisi orang kita lagi! Kalau kursi tidak diduduki orang, maka diduduki tas atau jaket. Saat itu saya beruntung karena segera memperoleh tempat kosong untuk 4 orang, padahal kami cuma berdua. Sementara meja dibersihkan, saya melihat sepasang kekasih yang sedang berjalan mondar-mandir kebingungan mencari tempat sambil membawa baki makanan. Saya melambai ke mereka dan menunjukkan 2 kursi di depan saya. Mereka mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih dan segera duduk. Hingga kami selesai makan, kursi-kursi kosong masih tetap diduduki jaket dan tas oleh orang-orang yang tadi juga. Mereka tetap asyik berceloteh, sementara orang-orang lain, termasuk seorang yang memakai kursi roda, mondar-mandir mencari tempat kosong yang masih tersedia. Ah, nurani…ke manakah dikau pergi?

—— *Ellen Eliawaty penggemar berat “The Naked Traveler”, mungkin memegang rekor sebagai penggemar tertua. Kelahiran tahun 1955 di Palembang, profesinya adalah ibu rumah tangga dan memiliki hobi jalan-jalan. Sejak tulisan ini dimuat, beliau terpicu membuat blog sendiri yang bisa dibaca di http://travellingwithellen.wordpress.com