by Mayawati Nurhalim*
Tahun 1994, saya pertama kali ke luar negeri ke Singapura (tentu saja!). Bahkan pertama kali naik pesawat terbang. Saat itu saya bekerja sebagai wartawan di salah satu tabloid hiburan di Jakarta. Saking kepengennya ke luar negeri, tanpa ada penugasan dari kantor, dengan uang sendiri tentunya, saya dan seorang sejawat berangkat ke Singapura untuk meliput konser Andy Lau. Maklum, lagi semangat-semangatnya (kalau tidak mau dibilang lagi norak-noraknya) melakoni kerja sebagai jurnalis yang belum genap setahun. Apalagi Andy Lau kala itu adalah aktor dan penyanyi Hong Kong paling ngetop. Wajah ganteng, suara merdu, dan akting yahud di film bikin cewek klepek-klepek. Serialnya yang paling booming di Indonesia tahun 90-an adalah The Return of The Condor Heroes. Dia berperan sebagai Yoko.
Tiba di Bandara Changi yang megah dan modern, kami bak orang kampung yang baru masuk kota. Terkagum-kagum berat. Tentu saja kami tak mau melewatkan kesempatan untuk berkeliling mengeksplor sudut bandara dan berfoto-ria. Usai melakukan tur singkat di bandara, dengan menggeret koper, kami pun ke luar buat menyetop taksi. Kok ya beberapa kali melambai pada taksi yang lewat, dicuekin, padahal jelas-jelas lampu di atap taksi menyala yang menandakan taksi kosong. Apa yang salah ya? Akhirnya ada satu taksi yang mau juga berhenti. Di dalam taksi, si supir buka suara. “Kok aneh ya kalian baru datang, dengan koper, tapi nyetop taksinya di terminal keberangkatan?”. Sialan, ketauan deh kami kampungan!
Saat jumpa pers dengan Andy Lau di Westin Stamford, sejawat saya yang lebih lancar berbahasa Mandarin bertugas sebagai wartawan yang ikut nanya-nanya, sementara saya jadi fotografer dadakan. Tibalah akhir sesi wawancara, para fotografer diberi kesempatan memotret Andy Lau yang ditemani aktris Rosamund Kwan sebagai bintang tamu di konser tersebut. Andy dan Rosamund berdiri bersisian memutar arah pandang ke sana ke mari mengikuti perintah para fotografer. Saya juga nggak mau kalah meneriakkan nama mereka, “Andy, Kwan Xiaojie!”. Keduanya menoleh ke arah saya, dan jepret… jepret! Wah, bangga bener rasanya ketika mereka menatap kamera saya. Tapi, para fotografer dan wartawan lain pada ngetawain saya. Apa yang salah ya? Apa karena gaya memotret saya yang kelihatan amatiran? Karena jujur aja, saya baru dapat kursus kilat menggunakan kamera SLR kantor dari rekan fotografer beberapa hari menjelang keberangkatan. Selain pada ketawa-ketiwi, mereka juga pada ikutan berseru dengan lantang, “Andy Kwan Xiaojie!”. Tapi mereka mengarahkan ucapan itu bukan kepada Andy Lau dan Rosamund Kwan, melainkan kepada salah seorang wartawan Singapura. Brengsek, kenapa sih?
Belakangan saya baru tahu bahwa ada salah seorang wartawan Singapura yang bernama Andy Kwan. Dan tentu saja dia laki-laki tulen. Jadi, teriakan yang saya maksud untuk Andy Lau dan Rosamund Kwan berupa, “Andy, Kwan Xiaojie!” malah terkesan ledekan buat si Andy Kwan, karena xiaojie artinya nona. Cara memanggil yang tidak konsisten dengan menyebut Andy (nama Barat-nya), dibarengi Kwan (nama Chinese dan nama belakang pula), plus pake sebutan Xiaojie (yang nggak pas pada konteks itu), jadi sangat ngaco. Tambah lucu lagi karena pas banget di situ ada orang yang namanya Andy Kwan. Harusnya yang betul saya manggil, “Andy! Rosamund!”. Maklum deh, selain karena bahasa Mandarin saya memang masih belibet, saat itu juga saya ribet dengan kamera dan harus berdempet-dempetan dengan para fotografer sungguhan untuk mendapatkan gambar terbaik sehingga yang sempat terlontar dari mulut ya panggilan itu. Duh, malunya!
Setelah jumpa pers dan konser selesai, tiba saatnya kami pelesir keliling Singapura. Salah satu obyek wisata yang ada dalam daftar rencana kunjungan kami adalah Ming Village. Udah lihat peta dan tanya-tanya, kami pun naik MRT (Mass Rapid Transit) dan turun di perhentian terdekat dengan lokasi Ming Village. Setelah keluar dari stasiun MRT, kami bingung. Jalan kaki ke sana ke mari tidak juga nemu, akhirnya kami menyerah untuk naik taksi. Disetoplah sebuah taksi. Buka pintu, kami sebut dengan yakin, “Ming Village!”. Si supir taksi sempat mengernyit sebentar, memandang bingung ke arah kami. Kami pun masuk dan melempar pantat ke jok belakang taksi, jebret, tutup pintu. Taksi pun meluncur. Belum sempat narik napas, si supir telah menghentikan taksinya di depan sebuah gedung. “This is Ming Village,” katanya sambil nyengir lebar. Hah, sedekat ini? Bahkan argo pun belum beranjak dari nilai minimumnya. Dengan salah tingkah kami pun membayar taksi itu. Turun lalu memandang bego ke arah gedung besar yang bentuknya memanjang itu. Ini toh Ming Village. Village kan kampung. Masak ini gedung? Halah, inilah akibatnya kalau nyari informasi tidak detil. Ternyata Ming Village itu cuma sebuah toko suvenir yang menjual keramik-keramik dan kerajinan lainnya yang merupakan replika barang-barang berharga zaman Dinasti Ming! Semprul!
—– *Mayawati Nurhalim – masih jadi wartawan, tapi sekarang udah nggak norak lagi. Kalau Andy Lau adalah idolanya, maka ketebak umurnya berapa. Hobinya jalan-jalan dan aktivitas beradrenalin. Ini merupakan tulisannya ketiga setelah ini.