by Maria Wardhani*
Baru-baru ini, tanpa direncanakan, aku dan Ney berniat sedikit ber-adventure. Pinginnya cari pantai yang pasirnya putih, tidak begitu banyak pengunjung, dengan jarak tempuh bolak-balik satu hari dari Surabaya. Berbekal tanya kanan kiri, dapat satu rekomendasi pantai Sipelot yang katanya asyik buat berenang dan sepi. “Masuknya dari jalan besar juga nggak jauh-jauh amat,” begitu promosi temannya Ney. Dari kota Malang, katanya hanya berjarak tempuh satu jam. Satu jam berlalu, mulailah kami menyusuri jalan yang hanya cukup untuk satu mobil pas. Pemandangannya lumayan keren, banyak pohon berbukit-bukit dan kabut sudah mulai turun sehingga berkesan romantis. Terbuai pemandangan itu, kami baru menyadari bahwa sudah sekitar satu jam kami jalan dari jalan besar tadi, tapi bukit-bukit di depan kami masih tidak terhitung banyaknya. Jangankan deburan ombak, pohon-pohon besar dan tonjolan bukit masih terlihat. Tidak terhitung berapa kali kami naik turun bukit. Setelah merasa kelamaan di jalan, aku mencoba memastikan bahwa kami tidak salah jalan. Si mas supir membenarkan bahwa kami tidak salah jalan. “Masih lumayan, tapi tinggal lurus saja ikuti jalan ini nanti sampai ke pantai,” katanya.
Iseng-iseng, sekaligus untuk membangkitkan semangat, aku bertanya jarak. Padahal aku sudah tahu bahwa ukuran jaraknya orang desa itu punya ukuran meteran sendiri dan sangat jauh berbeda dengan yang kita pelajari di sekolah. Contohnya, “Caket, mbak. Sak plintengan mawon” (Dekat mbak, sekitar satu lemparan batu). Tapi, jarak lemparan batu menurut mereka ini lebih jauh dari lemparan lembing atlet profesional. Saking tidak akuratnya ukuran ini, kami menyebutnya sak plintengan buto (satu lemparan batu yang dilakukan oleh raksasa). Hehe! Contoh kedua, ketika mereka memberikan ukuran jarak dalam kilometer, sungguh diragukan menggunakan meteran yang mana. Kadang jarak satu kilometer yang disebutkan berarti satu jam berkendaraan. Akhirnya si mas menjawab dengan ukuran jarak. “Gangsal kilo pun dugi pantai (lima kilo lagi sudah sampai pantai),” ujarnya. Duh, semoga ukuran meteran si mas ini benar. Kenyatannya… masih satu jam berkendaraan lagi! Alhasil, setengah jam sebelum maghrib kami baru benar-benar menginjakkan kaki di pantai Sipelot. Pantainya bagus, pasirnya putih dan sepi… serasa private beach. Buat berenang pantai ini oke juga karena berada di cekungan, terlindung dua bukit dari laut lepas, sehingga ombaknya tenang. Di sana juga ada tempat pelelangan ikan dan beberapa rumah penduduk juga menjual ikan hasil tangkapan mereka. Tapi, sekali lagi, kami datang terlalu malam sehingga kami membatalkan niat untuk berenang – takutnya malah disangka cari pesugihan. Sial kedua, kami juga tidak kebagian ikan.
Jika jarak yang sebenarnya jauh dianggap dekat oleh sebagian besar penduduk Jawa, maka penduduk pulau Lombok sangat berkebalikan dalam hal ukur jarak. Om dan tanteku yang tinggal di Mataram seringkali tidak tega melepas kami berwisata sendirian di pulau Lombok dengan alasan tempatnya sangat jauh. “Aduh jangan deh, biar diantar saja. Dari Mataram ke Bangsal Pemenang (dermaga penyeberangan ke Gili) itu jauuuh,” terang tanteku dengan penekanan pada huruf u yang panjang, melebihi intonasi nada dengan empat ketukan, ketika aku bernegosiasi ingin ke Gili sendiri. Tak mau berdebat panjang, aku mencoba menterjemahkan kata jauh dengan ‘u’ yang panjang ini dengan ukuran jarak. Tanteku bilang, “Sekitar 25 kilometer. Bisa setengah jam sendiri lho kesana.” Waduh, kalau hanya segitu mah dekeeeet banget! Itu sama dengan rute rumahku ke kantor yang kutempuh setiap hari. Untungnya jarak 25 kilometer yang dianggap jauh ini ternyata memang beneran bisa ditempuh hanya dengan waktu setengah jam saja.
Tak hanya tanteku yang menganalogikan jarak yang dekat dengan kata ‘jauuuh’, tukang cidomo (delman) di Gili Trawangan pun demikian. Pulau berukuran 38 km persegi, setara dengan sepersepuluh luas Surabaya, dapat dikelilingi dengan satu jam mengendarai cidomo. Selain menikmati pemadangan pantai yang indah, terlihat hotel-hotel yang kebanyakan berada di sekitar dermaga. Ketika melewati tanah kosong, si mas cidomo bilang jika malam hari keramaian Gili ini hanya berada di kota. “Kota? Kota yang mana?”, tanyaku. Dia menjelaskan bahwa kami ini sedang berada di desa, dan dermaga yang tadi kami lalui adalah kota. Ooo… jadi definisi kota menurutnya adalah deretan hotel dan pub di sekitar dermaga, dan desa adalah lahan-lahan yang belum terbangun, yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari “kota”. Oalah!
——— *Ini tulisan kedua Maria (28 tahun, tinggal di Surabaya), setelah Air oh Air.