Anthology Posts

Astuti (ASlinya TUkang TIpu)

By Trinity

March 01, 2009

by TJ*

Perhatian: kisah ini jangan ditiru! Sudah bawaan orok bahwa saya punya kemampuan mengibul. Yah dipakai untuk iseng-iseng saja lah, tidak untuk menjadi penipu profesional membawa lari uang orang atau “mem-buaya-i” anak gadis yang masih lugu. Paling sering, kemampuan mengibul itu saya pakai di dunia maya, saya biasa login di chat room menjadi orang yang sama sekali bukan diri saya, tujuannya supaya ngobrolnya asyik saja. Tidak terpikir sama sekali sebelumnya bahwa saya bisa mengibul untuk pelesir irit.

Salah satu hobi saya adalah nyemplung laut, dan karena saya tinggal di Surabaya maka liburan favorit terdekat adalah ke Pulau Menjangan di Bali Barat Daya, sekitar 7 jam perjalanan. Pertama kali ke sana bersama dive master dan rombongan belajar menyelam, setelah itu saya mengajak teman-teman yang lain. Karena saya sudah tahu seluk beluknya maka saya menjadi koordinator rombongan: membeli karcis, menyewa perahu, dan memesan bekal makan siang untuk dibawa ke tengah laut. Saya heran ketika membayar karcis kok dihitung minus satu orang, begitu pula ketika memesan makanan. Ternyata saya dikira pemandu wisata yang sedang membawa rombongan wisatawan. Saya jadi paham bahwa pemandu wisata lazim mendapat fasilitas gratis sebagai komisi transaksi.

Di kesempatan lain ketika saya dan istri pelesir ke Bali, kami bertemu seorang teman kuliah yang bekerja sebagai manajer sebuah perusahaan agen perjalanan. Dia mentraktir kami di restoran mahal, tapi tidak membayar. Teman saya menjelaskan bahwa sudah semestinya dia mendapatkan perlakuan istimewa karena dia mendatangkan bisnis buat restoran dan hotel. Muncullah ide sinting di kepala saya. Saya bertanya kepadanya apakah saya bisa mencoba role play menjadi orang dari agen perjalanan. Dia menjawab kalau berani boleh saja, coba mengaku sebagai surveyor dari kantornya, nanti pasti diberi diskon walaupun tidak 100% karena wajah saya belum dikenal pelaku bisnis di sana. Kalau ketahuan bohong gimana dong, nanti dilaporkan polisi. Teman saya menjamin, kalau sampai ada apa-apa telepon saja nanti dia yang membereskan.

Petualangan pun dimulai. Saya menyewa mobil dari persewaan yang memang langganan kantor teman saya, lalu keliling Bali. Dasarnya ‘Astuti’, saya sukses menjalani role play itu. Hotel dan restoran semua saya ‘taklukkan’. Dari Kuta, Jimbaran, sampai Ubud, dilanjutkan nyemplung laut di Pulau Nusa Lembongan, saya berhasil mendapat diskon spesial. Pokoknya jauh deh dari harga resmi.

Cukup lama berselang,  ketika bisa cuti lagi saya ingin mengulangi menjadi ‘Astuti’, kali ini tujuan saya ke Lombok. Dari Surabaya, saya menghubungi per telepon dan faksimil ke salah satu perusahaan agen perjalanan di Mataram, mengibul bahwa saya perlu melakukan survei untuk calon pelanggan.Seperti bisa diduga, sukses mendapat diskon spesial. Saya dan istri berangkat ke Lombok dengan hati berbunga-bunga karena pelesir kali ini tentunya bisa irit lagi akibat sukses jadi tukang kibul sebelumnya.

Sialnya, saat itu pasca tragedi bom Bali sehingga masih banyak teror bom dimana-mana. Bisnis pariwisata macet total, tidak hanya di Bali tapi juga di Lombok. Setibanya di Mataram saya diminta mampir ke sebuah kantor bertemu manager untuk membicarakan peluang bisnis. Ia bertanya sejauh mana kemampuan ‘perusahaan agen perjalanan’ saya untuk mendatangkan pelanggan di masa suram ini. Mampus! Benar-benar ini ujian untuk kemampuan ‘Astuti’ saya. Kibul sana-sini akhirnya sih ‘sukses’, tapi saya jadi tidak se-pede sebelumnya.

Di Gili Trawangan saya kembali kena batunya. Bisnis pariwisata saat itu sudah hancur lebur. Begitu banyak bangunan yang sebelumnya merupakan hotel dan restoran yang akhirnya terlantar, kosong melompong, ditumbuhi semak ilalang, dan tidak sedikit yang sudah roboh. Satu dua pemilik hotel dan restoran yang masih mempertahankan bisnisnya mengajak saya ngobrol, berkeluh-kesah atas hancurnya bisnis dan ternyata sudah begitu lama tidak ada orang dari agen perjalanan yang datang bahkan untuk sekedar survei. Mereka benar-benar berharap saya bisa mendatangkan tamu! Duh, saya tambah tidak enak hati. Perasaan bersalah menghujam saya. Suara saya bergetar dan keringat dingin pun menetes. Rasanya saya ingin segera masuk bumi karena malu.

Di Gili Air, kami menginap di sebuah hotel yang dimiliki oleh orang Italia. Untungnya saat itu si pemilik sedang ke Denpasar. Coba kalau dia ada di sana dan mengajak saya curhat, tidak terbayang bagaimana caranya saya harus ngibul dalam bahasa Inggris! Ampun deh, saya benar-benar kapok dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Malam itu, saya dan istri duduk berdua di tepi pantai yang sangat sepi di bawah bulan purnama sambil bergenggaman tangan… Sebuah akhir yang romantis bagi petualangan seorang ‘Astuti’.

—— *Astuti adalah cerita kedua TJ di blog ini. Cerita sebelumnya dapat dilihat di sini.