Beruntunglah saya! Bagi saya, makanan hanya ada 2 kategori: enak dan enak sekali. Katanya makanan di pesawat paling tidak enak, tapi bagi saya ya enak saja. Meski makanan di pesawat dimasak dan ditata sedemikian rupa tapi karena berada di dalam pesawat – apalagi penerbangan jauh – memang tidak menyenangkan sehingga apapun rasanya jadi tidak enak.
Baru-baru ini saya terbang naik Lion Air dari Banjarmasin ke Palu, berangkat jam 15.30 tiba jam 23.00 dengan 3 kali ganti pesawat dan transit di Surabaya dan Makasar. Wih, sekali terbang cuman dikasih segelas air mineral, jadi sepanjang perjalanan total dikasih 3 gelas air. Duh laparnyaaa! Penerbangan sekarang memang sungguh tega. Murah sih murah, tapi kok ya tidak manusiawi jadinya. Padahal dulu Lion terkenal dengan ‘trio kudapan’ yaitu kotak kardus berisi arem-arem, dodol, dan roti coklat pada setiap penerbangannya. Bahkan penerbangan sampai ke Vietnam pun mendapat jatah ‘trio kudapan’ tersebut sebanyak 3 set, dari Jakarta ke Singapura sampai Ho Chi Minh. Blenger memang, tapi masih lebih baik daripada segelas air putih.
Tiket pesawat saat ini memang semakin murah harganya, salah juga kalau protes tidak dikasih makan atau makanannya tidak enak atau kurang banyak. Sriwijaya dan Adam Air masih menyediakan kotak makanan berisi roti coklat – yang ledekan teman saya modalnya hanya tiga ribuan perak. Air Asia yang menyediakan makanan di dalam pesawat meskipun harus bayar ekstra. Tren tiket murah ini juga berlaku di luar negeri. Bahkan penerbangan utama seperti Lufthansa atau Swiss Air memberlakukan tiket murah lewat internet, semakin lama memesan sebelum tanggal keberangkatan akan semakin murah. Penerbangan antar negara di Eropa yang ditempuh sekitar 1 jam dapat air mineral sebotol atau kopi/teh dan coklat wafer. Mereka juga menyediakan makanan yang dapat dibeli di atas pesawat, seperti sandwich, namun kalau memesan kursi kelas satu makanan termasuk di dalamnya.
Ada harga, ada mutu. Garuda yang termahal masih menyediakan makanan yang lumayan meski penerbangannya cuma satu jam. Sebelum take off pasti dikasih permen. Kalau berangkat pagi bisa dapat omelet dan sosis hangat, kadang nasi goreng. Berangkat pas makan siang atau malam, dapat nasi dan lauk pauk plus buah atau puding. Kalau pun dikasih kudapan, jenisnya yang mahalan seperti croissant atau kue sus plus sebatang coklat. Minumannya pun bisa milih, mau jus, soft drink atau kopi/teh. Tapi terus terang, kalau tidak dibayar kantor saya memilih untuk tidak naik Garuda soalnya kalau jalan sendiri dengan penerbangan lain bisa dapat lebih murah. Dulu saya senang naik Star Air karena mereka royal memberikan makanan, nasi pula. Mungkin karena saking royalnya, penerbangan itu ditutup.
Penerbangan jarak jauh yang melewati time zone berbeda-beda itu menyakitkan. Lagi enak-enak tidur, kita dipaksa makan untuk menyesuaikan diri dengan waktu setempat – konon untuk meminimalisasi jet lag. Prinsipnya seperti orang lagi diet, makan sering tapi dengan porsi sedikit. Kalau tidak mau dibangunkan, isyaratnya tempel sticker khusus di senderan kursi, atau menaruh syal di perut – yang saya juga tidak tahu apakah sudah berlaku universal dan dimengerti semua pramugari di dunia. Makanan favorit penerbangan jarak jauh bagi saya adalah yang disediakan maskapai penerbangan dari negara-negara Arab, seperti Emirates, Gulf Air, atau Qatar Air, soalnya mereka menyediakan pilihan makanan berupa kambing! Sebenarnya saya bukan penggemar berat kambing, tapi makan kambing di udara bagi saya adalah luxurious. Kebanyakan jenis makanan pesawat plain saja, seperti fillet dada ayam tanpa kulit atau daging sapi tanpa lemak, keduanya dengan bumbu minim. Rasanya kurang ‘jorok’ dan greasy dibanding daging kambing berbumbu tajam bukan?
Namun saya perhatikan, makanan pesawat tidak ada yang berkuah panas. Pasti karena takut belepotan atau karena ukuran mangkok tidak muat di kereta dorong pramugari. Padahal dingin-dingin di pesawat bawaannya saya selalu membayangkan mie bakso dengan kuah pedas atau soto betawi. Nggak mungkin banget kan? Bukan bicara kotor, tapi saya perhatikan lagi, kelamaan berada di dalam pesawat dan sering memakan makanan pesawat membuat, maaf, ‘boker’ jadi encer – entah karena jenis makanannya atau karena efek dari jet lag. Hiii!