Di antara teman-teman, saya lah yang paling cepat berjalan kaki. Katanya karena saya bertubuh tinggi dan berkaki panjang sehingga langkahnya lebar. Tapi terus terang, saya hanya berjalan kaki beneran pada saat makan siang dari kantor ke warung atau di mall – selebihnya naik mobil. Jakarta yang panas dan berpolusi memang dijadikan alasan orang malas berjalan kaki. Tapi itu juga terjadi di kota-kota lainnya di Indonesia, kecuali di desa karena alat transportasi belum memadai. Akuilah, kita memang tidak terbiasa untuk berjalan kaki. Tak heran trotoar di kota besar di Indonesia tidak pernah tergarap dengan baik. Trotoar bukan diisi oleh para pejalan kaki, tapi penuh dengan motor dan tukang jualan. Saya sering bertanya kepada teman-teman bule saya yang pernah tinggal di Jakarta tentang apa yang mereka missed. Jawabannya sederhana saja, “To be able to walk.”
Karena berjalan kaki (jauh) merupakan kegiatan yang selalu dilakukan bule-bule itu setiap hari, pantas saja saya selalu kalah cepat dibandingkan mereka meskipun saya seorang pejalan kaki cepat ukuran Indonesia. Waktu saya ikut trip trekking di Fraser Island (Australia), di antara serombongan bule-bule, saya di urutan nomer 2 dari belakang. Yang paling belakang adalah seorang wanita yang guendut alias obesitas. Waktu saya ikut trip hiking ke Franz Joseph Glacier (Selandia Baru), instrukturnya sengaja membagi 3 kelompok berdasarkan kecepatan jalan seseorang, yaitu fast, medium, dan slow. Berkaca dari pengalaman, tentu saya memilih masuk kelompok slow. Ternyata selain saya yang ‘normal’, anggota lain adalah orang-orang yang obesitas dan yang memakai tongkat alias cacat! Duh, meski malu hati saya tetap pada pendirian saja daripada ditinggal sendirian di belakang. Di Athena (Yunani), saya yang tukang nyasar memilih untuk mengikuti walking tour ke Acropolis yg terletak di atas bukit dan situs-situs lainnya yang terletak di kota tua dengan jalan-jalan yang ruwet dan sempit. Semalam sebelumnya saya sudah deg-degan membayangkan harus kejar-kejaran jalan sama bule-bule jangkung. Ternyata besok paginya peserta cuman seorang, saya doang. Jadilah saya yang mengatur kecepatan jalan dan ternyata si guide yang gendut napasnya pendek, lebih sering dia yang minta berhenti karena terengah-engah.
Saya perhatikan lagi, di negara-negara dingin orang sangat on time. Kalau kereta terdengar akan lewat, orang-orang mempercepat langkahnya bahkan berlari untuk dapat masuk. Padahal kereta itu akan datang setiap 2 menit sekali. Sebagai orang Indonesia yang berprinsip ‘masih ada kereta yang akan lewat’, saya memilih untuk tetap berjalan dengan kecepatan yang sama. Teman-teman bule saya sampai frustasi, kata mereka ‘there is no way to make Indonesians move faster’. Hehe! Dengan transportasi yang sangat baik dan tepat waktu, memang tidak ada alasan untuk datang terlambat. Tidak seperti di negara kita yang menghalalkan alasan macet meskipun semua orang juga tahu bahwa supaya tidak terlambat obatnya adalah pergi lebih awal.
Teori-teorian bodoh yang saya simpulkan sendiri dari hasil pengamatan selama traveling adalah: semakin jauh letak suatu negara dari garis khatulistiwa, semakin cepat orang di negara tersebut berjalan. Logikanya, semakin jauh dari khatulistiwa maka negara tersebut pasti dingin sehingga orang akan berjalan lebih cepat supaya tidak kedinginan. Perhatikan orang Indonesia, mana ada orang yang berjalan cepat? Saya bahkan beranggapan bahwa semakin dekat suatu negara ke garis khatulistiwa, semakin malas pula orang-orangnya. Mereka jalannya slow, very laid-back, sering tidak tepat waktu, dan kurang disiplin. Perhatikan saja film-film Hollywood, mana ada tokoh ilmuwan orang Melayu atau Latin? Namun sisi positifnya adalah: semakin dekat orang tinggal ke garis khatulistiwa maka akan semakin ramah orangnya. Mungkin karena mereka berjalan lambat, mereka lebih punya banyak waktu untuk saling ‘berhaha-hihi’ satu sama lain. Tuhan Maha Adil!