Terkutuklah Edinburgh

Edinburgh, Scotland, Februari 1995

Pergi ke kota ini tidak direncanakan. Saat saya berlibur di London, tiba-tiba saja salah seorang teman saya memberikan surprise dengan menghadiahi tiket pesawat pulang pergi ke Edinburgh. Saking surprise-nya, tiket diberikan 2 jam sebelum keberangkatan! Siapa yang menolak coba? Meski agak panik juga karena sama sekali tidak ada persiapan, tidak tahu mau ke mana, menginap di mana, dan naik apa.

Begitu pesawat British Airways mendarat siang hari, kesialan pertama terjadi: saya kehilangan topi baseball kesayangan yang tertinggal di pesawat. Sampai di tengah kota, saya mendapat hostel yang ternyata butut banget yang sangat tidak sesuai dengan promosi di brosur. Sorenya saya terkunci lama di dalam mall karena tidak tahu bahwa mall tutup jam 5 sore dan saya sedang ada di toilet. Malamnya di restoran Burger King, saya ditangkap 3 orang security dengan badan segede kulkas karena disangka ngeganja, padahal saya merokok Gudang Garam! Fuih…serangan bertubi-tubi menyerang saya di kota Edinburgh hanya dalam beberapa jam.

Karena buta mengenai kota ini, besoknya saya berencana ikut tour ke sebuah danau yang konon masih ada monster raksasa yang menyeramkan bernama Loch Ness. Saya pun pergi ke Tourist Information Office di Waverley Market dan mencari brosur sambil berpikir keras memilih salah satu paket yang paling terjangkau dompet. Saya lalu mengantri di depan loket pemesanan paket tour yang dijaga oleh seorang ibu berkulit putih berumur sekitar 40an dengan rambut warna keemasan yang digelung a la french twist dan pakaian yang rapih.

Di depan antrian ada 5 orang, persis di depan saya ada seorang cewek Jepang. Begitu giliran si Jepang, si ibu petugas loket tidak memandang muka si Jepang ini sama sekali. Si ibu kebanyakan menjawab “No” sambil menatap langit-langit pura-pura budeg akan apa yang dikatakan si Jepang. Saya pun mendekat, mau nguping apa yang mereka bicarakan. Oh rupanya paket tour sudah habis, tapi muka si Jepang terlihat begitu sedih bahkan hampir menangis.

Giliran saya pun tiba. Dengan sopannya saya menanyakan paket tour sambil menunjuk brosur. Begitu saya memandang si ibu, hah, si ibu juga memandang langit-langit sambil berkata dengan intonasi datar, “No tour today.” Saya menanyakan lagi paket tour lain yang juga ke Loch Ness. Dengan gaya yang sama si ibu juga menjawab, “No,” dengan nada yang tambah tinggi. Saking kesalnya saya menunjuk beberapa paket tour yang makin lama makin mahal, penasaran sama reaksi si ibu keparat ini. Dia pun menjawab dengan nada yang tinggi, “I said NO tour today!

Saya pikir karena dia marah, dia akan memandang saya, ga taunya dia tetap memandang langit-langit! Saya pun berjalan melengos sambil melihat si ibu dengan ekor mata saya. Saya melihat si ibu mengambil kain dan berkali-kali melap meja tempat saya menopangkan tangan! Sialan, memangnya saya bervirus membahayakan apa?!

Saya pun ngumpet di balik rak brosur, pengen tahu apa yang akan dilakukan si ibu terhadap 1 cewek bule yang mengantri di belakang saya. Hah? Raut muka si ibu tiba-tiba berubah menjadi sangat manis dan penuh senyum, menunjuk-nunjuk brosur, menerangkan tempat-tempat yang akan dikunjungi, dan akhirnya cewek bule ini membayar tour yang sama seperti yang saya inginkan! Darah saya langsung mendidih. Apalagi antrian berikutnya yang semuanya bule dilayani dengan baik dan ramah, ada eye contact, tanpa lap meja.

Saya segera beranjak ke luar, mau merokok untuk menenangkan diri. Tadaaa, saya melihat beberapa mini bus yang sedang parkir dengan nama Tour Operator dan paket yang saya ingin ikuti. Tour guide-nya membenarkan bahwa mereka akan pergi tour ke Loch Ness, ia bahkan mengatakan, “We have lots of empty seats here.” APA?

Saya langsung merepet panjang menceritakan bahwa si ibu keparat di dalam bilang tidak ada tour hari ini bla bla bla… sampai akhirnya saya baru sadar bahwa saya terkena diskriminasi rasial! Suatu kata yang selama ini saya bayangkan hanya terjadi pada orang kulit putih yang merasa superior terhadap kulit hitam pada masa perbudakan. Saya pun segera menelepon British Airways untuk mengganti tanggal kepulangan ke London. Secepatnya

Catatan: Tidak semua Scottish itu racist. Saya punya beberapa teman Scottish kok. Dan mereka tidak racist.

7 Comments

  • poety
    July 29, 2009 7:48 am

    huaaaaa.. mbak T, bete juga yah kena diskriminasi rasial. Mudah-mudahan taun 2009 ini enggak lagi deh hehe, soalnya aku ada rencana pengen main ke edinburgh. Dan sama sekali have no idea what should do di sana kecuali ke highland and loch ness. Btw akomodasi butut yg mbak T bilang itu dimana mbak?

  • tiara
    September 28, 2009 10:15 pm

    Wah sayang ya mbak trinity nggak jadi jalan2 di edinburgh, padahal itu indah banget kotanya…. dan alhamdulillah saya belum pernah mengalami hal2 yang rasis (saya berjilbab) kalau pas liburan kesana. Coba ke St Andrews mbak, lebih sepi & peaceful asal bukan musim turnamen golf 😀

  • Revanadia
    December 22, 2009 5:23 pm

    Waww.. serasis itu ya.. apa latar belakangnya ya?? ckck

  • joe
    July 9, 2010 4:05 pm

    i love Scotland….!!!! and i love highlander..!!! menurut gw setiap sudut di Scotland itu indah, apalagi klo sdh ke north klo nginep di hotel2 tua sdh kaya putri raja cuz tidurnya diranjang yg gede bgt,, jgn lupa ke distillery secara Scotland terkenal bgt sama Whiskynya…:))

  • Secret Life
    August 28, 2011 9:44 pm

    HMm..Next time mudah2an bisa jalan2 ke England and mampir ke Edinburg.. Jadi penasaran nih..:)

  • James
    June 20, 2013 7:32 am

    Itu yg gua juga benci mbak, kalo orang bule dateng ke negara asia, mereka diperlakukan kayak king and queen. Tapi kalo kita sebagai orang asia ke negara eropa, jangan harap dapet perlakuan istimewa biarpun mereka tau kita tourists.

  • salima aqiqah
    December 16, 2015 10:39 am

    nasib negari terbelakang

Leave a Reply

Leave a Reply