Search:

Anthology Posts

Ke(tidak)rajinan tangan khas Swedia

by Sara Respati*

Kerajinan tangan Swedia seharga hampir Rp 1,5 juta!

Di sela-sela kesibukan saya sebagai mahasiswa di kota kecil bernama Norrköping di Swedia (yang tahun ini punya winter maha dasyat, sempat minus 30°C!), saya sempatkan untuk mengikuti acara yang diadakan oleh AIV (Association of International Visitor). AIV adalah sebuah organisasi untuk para mahasiswa internasional agar bisa lebih mengenal Swedia. Saya dan teman membeli tiket untuk event Swedish Handricaft, harga tiketnya 30 SEK atau Rp 39.000. Event itu diselenggarakan di sebuah kota bernama Linköping, kira-kira satu jam dari tempat saya tinggal.

Dengan tiket harga segitu, termasuk gratis mengikuti pelatihan membuat kerajinan khas Swedia yang bisa dibawa pulang setelah jadi. Asik nih, dapat pengetahuan baru. Setelah memasuki ruangan dan berkumpul dengan para exchange student yang lain, saya terkejut melihat meja kerja utama. Lah, kok cuma ada kayu dan kawat doang? Ternyata yang disebut kerajinan khas Swedia adalah membuat love dari kayu dan kawat yang diplintir-plintir terus dikasih manik-manik! Yaelah, gitu doang! Saya dan teman langsung misuh-misuh dalam bahasa Indonesia, mumpung tidak ada yang ngerti. Kalau dibandingin pas jaman saya SD di Samarinda, saya sudah membuat baju dari manik-manik yang jadi baju adat Kalimantan Timur atau bikin kotak pensil yang jauh lebih rumit dari sekedar kawat-kawat yang gitu doang. Walaupun saya bukan seniman, tapi saya juga bukan orang yang ”gagap seni”. Terpaksalah kami menjalani acara memotong kayu dan memlintir kawat itu. Langsung dong saya kelar pertama kali! Orang Indonesia gitu loh!

continue reading

Anthology Posts

Wartawan Norak Pertama Kali ke Luar Negeri

by Mayawati Nurhalim*

Rosamund Kwan & Andy Lau

Tahun 1994, saya pertama kali ke luar negeri ke Singapura (tentu saja!). Bahkan pertama kali naik pesawat terbang. Saat itu saya bekerja sebagai wartawan di salah satu tabloid hiburan di Jakarta. Saking kepengennya ke luar negeri, tanpa ada penugasan dari kantor, dengan uang sendiri tentunya, saya dan seorang sejawat berangkat ke Singapura untuk meliput konser Andy Lau. Maklum, lagi semangat-semangatnya (kalau tidak mau dibilang lagi norak-noraknya) melakoni kerja sebagai jurnalis yang belum genap setahun. Apalagi Andy Lau kala itu adalah aktor dan penyanyi Hong Kong paling ngetop. Wajah ganteng, suara merdu, dan akting yahud di film bikin cewek klepek-klepek. Serialnya yang paling booming di Indonesia tahun 90-an adalah The Return of The Condor Heroes. Dia berperan sebagai Yoko.

Tiba di Bandara Changi yang megah dan modern, kami bak orang kampung yang baru masuk kota. Terkagum-kagum berat. Tentu saja kami tak mau melewatkan kesempatan untuk berkeliling mengeksplor sudut bandara dan berfoto-ria. Usai melakukan tur singkat di bandara, dengan menggeret koper, kami pun ke luar buat menyetop taksi. Kok ya beberapa kali melambai pada taksi yang lewat, dicuekin, padahal jelas-jelas lampu di atap taksi menyala yang menandakan taksi kosong. Apa yang salah ya? Akhirnya ada satu taksi yang mau juga berhenti. Di dalam taksi, si supir buka suara. “Kok aneh ya kalian baru datang, dengan koper, tapi nyetop taksinya di terminal keberangkatan?”. Sialan, ketauan deh kami kampungan!

continue reading

Anthology Posts

Penumpang Haram

by TJ*

Sebagian orang cukup kreatif menyiasati agar bisa mengirit biaya perjalanan. Kreatifitas itu bisa jadi melanggar hukum seperti menjadi penumpang haram yang tidak bayar tiket, layaknya pengalaman saya. Jangan ditiru ya?

Transportasi paling mak nyus di negeri ini adalah nebeng pesawat Herkules TNI. Penerbangan gratis, kita cuma bayar airport tax Bandara Militer Halim PK sebesar sepuluh ribu rupiah saja. Tidak ada pungli, seratus persen halal, tapi memang tidak semua orang bisa menikmatinya karena secara prosedur resmi pesawat dinas hanya diperuntukkan bagi anggota TNI dan keluarganya. Kebetulan saya punya sepupu Kapten Pilot TNI AU yang bisa menguruskan surat ijin kalau saya mau nebeng. Sayang sekali rentetan kecelakaan pesawat militer yang terjadi akhir-akhir ini membuat TNI menetapkan aturan ketat: hanya anggota TNI yang ditugaskan yang bisa masuk ke pesawat.

Menjadi penumpang haram yang paling mudah adalah di bus malam. Di tempat tertentu ada pengawas yang bertugas menghitung daftar penumpang, kalau semua cocok maka beres. Penumpang haram biasanya naik setelah bus melewati pos pemeriksaan. Tempat duduknya? Kalau ada kursi kosong sih tidak masalah, tapi kalau bus penuh maka penumpang haram harus rela duduk di pojok dekat toilet, atau di mana saja yang berstatus kelas kambing.

continue reading

Thoughts

REASON #78: WHY I LOVE MY JOB

Gara-gara nulis tentang Citilink di blog, saya dapat undangan untuk ikutan Inagural Citilink Jakarta-Medan tanggal 15 Maret 2010 lalu. Inagural artinya pembukaan rute pernerbangan pertama. Hmm.. belum pernah nih saya ikut acara begituan. Meski badan bonyok abis trip ke Sumba, tapi kalo diajak jalan-jalan gratis siapa yang nggak mau? Ke Medan pula! Asiknya kali ini saya berangkat bersama Ollie –…

continue reading

Travel

[Adv] My Travel Gadget

Tiga tahun belakangan ini, saya semakin sering melihat para pelancong dunia yang membawa komputer sendiri. Maksudnya, laptop atau netbook. Dulu orang yang bawa-bawa komputer hanyalah para pelaku bisnis, sekarang backpacker pun bawa. Dulu hostel yang menyediakan warnet paling dicari orang, sekarang hostel yang memiliki free wifi paling diminati – apalagi kalau ada free wifi di tiap kamar. Di café atau restoran pun berlomba-lomba menyediakan free wifi.

Sebelum boarding di bandara luar negeri, sering para penumpang disuruh membuka tas dan memisahkan komputernya untuk di-scan di X-Ray. Sejak itulah rasa gengsi akan komputer timbul. Rasanya malu juga kalau punya laptop yang modelnya rikiplik, gede, tebel dan merk tidak terkenal. Rupanya perasaan itu juga dimiliki oleh penumpang lain karena saya suka nguping komentar mereka melihat komputer orang lain. Bahkan kalo ada model bagus yang jarang di pasaran, tak jarang ditanyai “What is your notebook?”.

continue reading