Aneka dugem (1)

Meskipun saat ini saya sudah tidak suka dugem lagi di negara sendiri karena ‘faktor u’ yang semakin tidak kuat bergadang, namun saat saya traveling saya pasti menyempatkan diri pada satu malam pergi ke tempat dugem di setiap negara. Selain dugem itu membutuhkan uang ekstra, paduan antara ke-disoriented-an saya dan rasa mabuk membuat sulit untuk menemukan jalan pulang ke hostel. Namun pada saat saya harus melaksanakan ‘kewajiban’ dugem di tiap negara yang saya kunjungi tapi lagi sendirian, ya tidak masalah.

Kalau niat cari teman, saya ‘modal’ belagak menyembunyikan korek dan meminta api dari orang yang diincar untuk memulai pembicaraan. Namun yang terpenting adalah menjaga batas minum untuk dapat menemukan jalan pulang.

Mau dugem yang mudah, murah, aman, dan dapat segerombolan teman, menginaplah di hostel yang bekerja sama dengan tempat dugem. Mereka melayani antar jemput dari dan ke hostel gratis, lengkap dengan kupon gratis minuman pertama. Malah mereka kadang mengantar ke beberapa tempat dugem sekaligus dalam satu malam. Mau dugem lebih hemat, caranya patungan beli alkohol di supermarket, nongkrong di salah satu rumah atau apartemen orang, minum bareng. Setelah merasa agak miring sedikit, barulah meluncur ke tempat dugem. Jangan lupa carilah tempat dugem yang tidak pakai entrance fee atau cover charge.

Namun sampai saat ini alkohol paling murah menurut saya adalah di Filipina. Bila dikurskan, sebotol bir cuman lima ribu, segelas liquor di bar termahal di daerah elit pun cuman dua puluh ribu (perbandingannya dengan harga bar ngetop di Jakarta, segelas draft beer sekitar Rp 40.000,- dan liquor Rp 70.000,-). Pernah saya mengadakan farewel party dengan teman-teman Pinoy di kota Puerto Princessa, dengan borjunya saya traktir alkohol untuk 8 orang di salah satu bar terngetop di kota itu, eh bayar cuman sekitar seratus ribu rupiah!

Ada lagi cara dugem yang lebih hemat, tapi memerlukan keberuntungan dan kecuekan. Saya pernah nongkrong sendirian di bar, di sebelah saya kakek-kakek yang juga duduk sendirian. Tentu saya tidak pursue, karena bentuknya maaf, kayak Colonel Sanders-nya logo KFC. Begitu batang rokok terakhir dari bungkus rokok terakhir saya habis dan saya akan beranjak pulang ke hostel, si kakek menawarkan rokok Marlboro-nya kepada saya. Tentu saya ambil, jadi harus berbasa-basi sedikit. Tapi ternyata si kakek ini sangat menyenangkan untuk diajak ngobrol, sopan pula. Sambil mengobrol, dia membelikan minuman yang muahal dan buanyak. Setelah itu kami berpisah di depan pintu bar dan tidak pernah ketemu lagi. Apakah saya cheap shit? Menurut saya tidak, karena kami merupakan simbiosis mutualisme: saya butuh minuman (gratis), dia butuh teman. Hehe!

Soal kostum dugem, saya paling senang traveling saat musim panas, tinggal pakai tank-top dan tidak usah membayar uang ekstra untuk menitipkan jaket. Kalau lagi musim dingin, kadang saya sok-sokan pake rok meskipun dinginnya ga karuan. Istilahnya ‘dress to kill’ dengan artian ‘kill myself’ saking bela-belain bergaya tapi harus menahan dingin yang menusuk sampai ke tulang rusuk. Tapi perempuan di manapun di dunia memang senang dress to kill themselves karena mereka memang paling tahan dingin dibandingkan lelaki. Bayangkan, bisa-bisanya perempuan memakai tank-top di suhu belasan derajat, sementara para lelaki memakai baju berlengan panjang atau jaket.

Pesta dugem paling aneh adalah ketika saya merayakan malam tahun baru di kota Siem Reap, Kamboja. Jam 10.30 malam saya dijemput tukang ojek di losmen tempat saya menginap dan membawa saya ke ‘Angkor What? Pub’ (plesetan dari nama candi Angkor Wat yang terkenal itu) dimana diadakan New Year Street Party. Saya pikir modelnya seperti karnaval jalanan Mardi Grass, tidak tahunya karena bar tersebut sangat kecil – segede ruko lantai satunya saja – mereka menggelar meja-meja dan kursi-kursi di pinggir jalan, sementara pub dikosongkan untuk dance floor. Tapi lagu-lagunya, ya ampuun, jadul abis! Saya pikir puncaknya jam 00.00 akan lebih beradab. Tidak tahunya pas tiup terompet, diputarlah lagu “Made in Japan”-nya Deep Purple. Jaka Sembung bawa golok banget!

Di Amsterdam yang terkenal dengan kampanye legalize canabis merupakan salah satu pusat dugem dunia. Apakah karena legal menggunakan ganja, saya tidak tahu. Tapi memang mudah mendapatkan ganja, tinggal masuk ke Coffee Shop dan tunjuk ganja yang ingin Anda pilih di antara jejeran ganja yang berasal dari manca negara. Ganja Indonesia termasuk yang ngetop dan mahal lho, tapi jangan harap Anda dapat membeli bir atau alkohol lainnya di tempat ini. Coffee Shop hanya menjual kopi dan ganja, sedangkan bar menjual hanya alkohol tanpa ganja. Di Belanda minuman yang terkenal adalah ‘pisang ambon’ – minuman berwarna hijau dengan rasa jus buah dan mengandung 21% alkohol. Anehnya meskipun namanya dalam bahasa Indonesia tapi tidak bisa dibeli di Indonesia, paling tidak saya tidak pernah lihat dijual di bar manapun di Jakarta.

Bersambung…

1 Comment

  • irin
    February 26, 2011 9:48 pm

    ka……
    si aku blm pernah dugem,
    pengeeen!!
    hehe

Leave a Reply

Leave a Reply